Gadis itu baru saja menyelesaikan tahun ketiga kuliahnya. Tinggal setahun lagi, dan ia akan menyandang gelar sarjananya. Namanya Alamanda. Gadis berusia dua puluh satu tahun itu memiliki wajah oval, bermata cokelat terang dengan ukuran sedang, rambut sejengkal di bawah bahu dan bergelombang di bagian bawahnya. Kulitnya tidak putih, tetapi begitu bersih dan terlihat sehat. Gadis itu terlihat begitu sederhana.
Mata cokelat terangnya itu selalu menyiratkan kesedihan yang mendalam, yang tidak pernah diketahui oleh siapapun. Senyumnya begitu sahaja. Sehingga ketika ia tersenyum, seolah wajahnya adalah paduan paling harmonis dari nada-nada ritmis yang menyentuh hati.
Seperti sebuah bunga, Alamanda selalu menjadi sosok yang membuat orang-orang di sekitarnya penasaran. Selain karena keindahannya, segala hal pada diri gadis itu seolah paduan kontradiksi paling harmonis. Ia pendiam yang dingin, namun pendengar yang begitu hangat. Ia seorang yang tertutup, namun bahunya terbuka lebar menampung derai air mata dan kesedihan orang-orang di sekitarnya. Ia terlihat begitu kuat dan seolah tak pernah menghadapi masalah yang berarti dalam hidupnya, namun jika menatap matanya lebih dalam, akan tampak sesuatu yang begitu rapuh dalam dirinya. Alamanda benar-benar menghanyutkan.
Malam itu, tepat usianya genap dua puluh satu. Setiap tahun, Alamanda hanya merayakan hal-hal semacam itu bersama bapaknya; satu-satunya orang yang ia miliki di dunia ini. Sejauh ingatannya, bapak adalah sosok yang begitu dicintainya. Yang karena lelaki itu pula, ia bersusah payah menempuh banyak cara demi membuat cinta pertama dalam hidupnya itu bahagia. Berbeda dengan tahun-tahun lalu, malam itu ia akhirnya menemukan potongan cerita yang sejak lama selalu menjadi pertanyaan dalam hidupnya; jejak tentang ibunya.
Alis Alamanda bertaut, wajahnya setengah kusut, manakala ia menerima sebuah amplop lusuh dari bapaknya.
“Ini kado dari ibumu,” ucap lelaki berusia 58 tahun yang selama ini hidup bersamanya.
Gadis itu menerimanya penuh ragu. Ada perasaan takut yang menggeliat di hatinya. Alamanda seketika merasa takut akan banyak hal—takut jawaban dari pertanyaannya akan mengecewakan, takut ia akan semakin membenci perempuan yang telah melahirkannya, takut merasa berdosa karena selama ini telah membenci perempuan yang bisa jadi meninggalkannya dengan alasan yang benar, dan ketakutan-ketakutan lain yang muncul dalam kepalanya. Dengan cepat, otaknya yang cerdas itu melahirkan spekulasi-spekulasi yang ia sendiri ngeri untuk membayangkannya.
Alamanda masih diam. Matanya berulang kali menatap amplop yang disodorkan bapaknya dan wajah bapaknya secara bergantian. Di wajahnya tergambar tanya yang menuntut jawaban dengan segera.
“Bacalah. Ibumu bilang, ini kado ulang tahunmu. Ibumu ndak bilang di ulang tahun ke berapa bapak harus memberikan surat ini ke kamu. Ibumu hanya bilang, berikan ketika waktunya tepat.” Lelaki tua itu menambahkan ucapannya, sedang gadis di hadapannya mengambil amplop lusuh itu tanpa mengucapkan apa-apa. “Seiring waktu, kamu bertumbuh jauh lebih hebat dari dugaan bapak. Sejak dulu, kamu jauh lebih dewasa dari teman-teman seumuranmu. Bapak harus jujur, bapak takjub sekaligus bangga. Tetapi entah mengapa, bapak selalu merasa ada yang jauh kamu simpan di dalam hatimu. Pertanyaan yang sejak sembilan tahun lalu berhenti kamu tanyakan ke bapak, entah kamu bosan bertanya tanpa mendapatkan jawaban, atau ada hal lain yang kamu sembunyikan.” Lelaki tua itu terbatuk sejenak, berdehem, lalu melanjutkan kalimatnya.
“Bapak ndak punya kata-kata yang tepat untuk menjawab pertanyaan kamu, Nak. Ndak pantas kalau bapak yang menjawab pertanyaan kamu. Pergilah, jumpain ibu kamu. Sudah waktunya kamu mendapat jawaban dari semua pertanyaan kamu.” Ia menandaskan kalimatnya.
Alamanda kembali mengernyitkan dahinya. “Pergi? Ke?”
“Ke tempat ibu kamu,” sambar bapaknya dengan cepat.
Gadis itu tidak langsung menyahuti. Dalam benaknya ia merenungkan banyak hal, merasakan ketakutan untuk hal-hal yang bahkan belum terjadi. Menghadiri tempat-tempat baru hanya untuk sekedar roadshow atau talkshow sudah menjadi hal yang biasa bagi Alamanda. Tetapi kali ini, mendatangi tempat baru untuk menemukan sebuah jawaban yang selama ini dicarinya, seolah membuatnya begitu ragu. “Ke mana?”
Bapaknya mengucapkan sebuah kota yang dengan segera diderukan angin, menguap ke udara. Kota yang tidak pernah terlintas di pikiran Alamanda, bahkan ia tidak pernah menyadari di negaranya ini, ada kota itu. Tetapi malam itu, ditingkahi suara hujan yang kian menderas, meski telah hilang ditelan angin, jawaban bapaknya tadi seolah melekat di telinganya. Berulang kali nama kota itu terngiang di telinganya, menciptakan dengingan-dengingan yang merambat hingga mencapai hatinya. Dan jauh di dada kirinya, ia merasakan sakit yang begitu indah. Perasaan sakit yang sekaligus melegakan. Sebab, meski terkadang ia begitu membenci ibunya, tetapi gadis itu tidak bisa berhenti bersyukur, ketika mengetahui bahwa ibunya masih ada di dunia ini.
Detik selanjutnya, kedua anak-bapak itu diam dalam keheningan. Yang satu berkutat dengan spekulasi-spekulasi, yang lainnya sibuk menziarahi kenangan.
***
Lelaki tua itu menyisir rambut ikalnya dengan jari. Sesekali angin menerbangkannya dengan lembut. Malam ini langit ditutupi mendung. Udara agak lembab, membawa ingatannya yang sembab perihal sesuatu yang tertinggal di masa lalunya. Ia baru saja menyesap kopinya, ketika seorang pemuda yang tak asing dalam ingatannya, datang mengucap salam.
Orang-orang memanggilnya Pak Tua. Banyak sekali yang datang kepadanya untuk mengeluhkan segala permasalahan dalam hidup mereka, khususnya para bujang yang mengalami masalah percintaan. Atau pasutri muda yang butuh nasehat rumah tangga ringan-ringan.
“Pak Tua…” pemuda itu terengah-engah, berbicara tak sabaran.
Lelaki tua itu menyesap kopinya sekali lagi dengan tenang. “Sabar, bernapas dulu. Mau minum apa?”
Pemuda itu mengatur napas. Sungkan dalam hatinya sebab ia datang tanpa ba-bi-bu dan tergesa-gesa pula memberondong lelaki tua di hadapannya. “Maaf, Pak. Kopi saja.”