Hari keenam di kota yang baru. Lara sudah pindah ke kos-kosan bersama tiga temannya yang lain—yang keseluruhannya adalah laki-laki. Menjadi satu-satunya perempuan dalam rombongan itu, membuatnya berganti peran menjadi Ibu Rumah Tangga dadakan. Sora dan Dian berada di kos-an berbeda.
Hari itu, Indonesia masih gonjang-ganjing masalah pemerintahan. Pemilihan pemimpin negara yang hanya memiliki dua calon itu, membuat negara ini terpecah menjadi dua kubu, yang berakibat pada meruncingnya dan memanasnya suasana politik di Indonesia. Sialnya, perempuan itu kini berada di tengah-tengah huru-hara Indonesia. Menjadi bagian Aparatur Sipil Negara tidak pernah ada dalam daftar cita-cita Lara. Namun, mulai beberapa hari lalu, ia harus menerima kenyataan bahwa dirinya telah berubah status menjadi abdi negara. Yang berarti, ia tidak bisa lagi mengkritisi pemerintahan secara terang-terangan. Setidaknya, itulah yang ia dengar dari seorang lelaki yang karenanya juga, kini perempuan itu berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Usai bertugas di lapangan dalam Pemungutan Suara Ulang, Lara, Sora, Dian dan ketiga temannya yang lain diajak liburan ke salah satu pantai terkenal di Tanjungpinang. Lara setengah hati menanggapi ajakan itu, sedangkan yang lain mempertimbangkan alasan ‘segan’ untuk menolak, sebab yang mengajak adalah salah satu atasan di instansi tempat mereka bertugas. Perempuan itu mengamini dalam hati alasan itu, dan akhirnya mereka bersedia pergi dengan syarat; satu pergi, semua harus pergi.
Lara mendengus dalam hati. Ketika perjalanan baru dimulai, di antara jalanan yang lengang, pemandangan terhampar luas, hingga langit bersih tanpa awan, perempuan itu merasakan kehilangan yang mendalam. Berkali-kali ia merutuk dalam hati. Betapa tempat barunya itu adalah tempat terindah yang pernah ia kunjungi. Sejauh mata memandang, ia selalu menemukan laut. Jalanan mulus tanpa lubang dan debu seperti di kota asalnya. Segala hal tentang kota itu selalu indah, tetapi mengapa hatinya masih merasa sepi dan tersesat di suatu tempat yang entah? Berkali-kali ingin kembali dan meninggalkan segala hal yang jelas untuk hidupnya itu?
“Ra, ngomong dong!” Gilang meledek dari belakang.
Lara hanya tersenyum kecut. “Mual.” Lalu ia memejamkan mata, dan tidak ikut menimpali percakapan teman-temannya.
“Nggak seru, nih, Kak Lara!” Sora menyahuti.
Gilang menambahkan, “nggak bakat jadi orang kaya deh lu!”
Kalimat Gilang mengundang gelak tawa yang lain. Perjalanan itu menyenangkan, namun Lara lebih memilih tidak begitu terlibat dalam keseruan teman-temannya. Sebab, ia benar-benar sedang merayakan kehilangan terdalamnya.
Dalam sepintas pikirnya, ada seseorang yang dikenangnya dengan baik jika ia mengingat kota asalnya. Namun, ada seorang yang lain, yang membuatnya ingin meninggalkan kota itu. Perasaannya begitu menyaru dalam ketidakpastian. Di satu sisi ia ingin kembali ke kota asalnya, sebagian lagi ingin pergi sejauh-jauhnya. Dan demi mengurai perasaan-perasaannya ini, perempuan itu akhirnya memilih tenggelam dalam pikirannya, sebelum matanya kian berat menahan genangan air yang siap tumpah.
Setelah sejam lebih melewati jalanan mulus dengan pemandangan hutan dan perbukitan, mobil berbelok kanan pada sebuah jalan kecil. Lara yang sejak tadi tidak benar-benar tidur, terkesiap memperhatikan jalan.
Kanan-kiri jalan kecil itu disesaki tumbuhan semak belukar. Jalanan aspal sudah lama menghilang, berganti dengan hamparan pasir cokelat muda. Semakin ke dalam, tampak palung-palung kecil di sisi kanan, berisi air dan berwarna biru. Ketika mobil kian masuk ke dalam jalan setapak itu, Lara dan teman-temannya segera sadar betapa indahnya danau biru yang terhampar luas di sisi kanan mereka.
Danau biru itu terbuat dari sisa penambangan pasir. Penambangan pasir yang dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, membuat tanah luas itu memiliki ceruk yang luas dan dalam. Hujan yang turun turut mengisi ceruk itu hingga membentuk danau. Spektrum cahaya yang bekerja dengan magis pada pasir kuarsa di dasar danau, membuat air danau itu berwarna biru muda. Danau itu benar-benar indah.
Mobil berhenti di parkiran. Satu per satu menuruni mobil dengan penuh semangat.
“Wooaaa... indah banget!” Sora berdecak kagum dan dengan tidak sabaran mengeluarkan ponselnya untuk mengabadikan momen.
Yang lain menimpali, “ayok nyebrang jembatan itu!”
Perhatian mereka segera tertuju pada sebuah jembatan yang terbuat dari bambu dan di sisinya terlilit tanaman jalar.