Perempuan Berwajah Duka

Goebahan R
Chapter #6

EMPAT

Alamanda baru saja duduk di kantin kampus. Suasana kantin lebih sepi daripada biasanya. Hanya setengah penghuni kampus yang masih wara-wiri di komplek kampus, sebagian lagi menikmati libur semester yang lumayan panjang untuk dihabiskan bersama keluarga di kampung, atau bekerja paruh waktu. Gadis itu baru saja selesai memesan makanannya, saat seorang pemuda yang dikenalnya dengan baik datang menghampiri.

“Ambil semester pendek juga?” tanya pemuda itu tanpa tedeng aling-aling. Ia segera duduk di seberang meja Alamanda tanpa menunggu dipersilakan.

Alamanda mengangguk.

“Mas, pesen, Mas,” ucap pemuda itu seraya mengangkat tangannya. Seorang pelayan menghampirinya. “Es tehnya satu, mi gorengnya satu. Kamu mau apa, Man?”

Gadis itu menggeleng seraya tersenyum. “Sudah pesan. Kamu saja.”

“Oke, itu saja, Mas.” Pemuda itu tersenyum kepada pelayan, disambut anggukan ramah dari pelayan itu. “Eh, Man, aku punya sesuatu untuk kamu,” ucapnya kepada Alamanda setelah pelayan yang tadi melayaninya berlalu.

Pemuda itu cekatan membuka resleting tasnya, lalu merogoh ke dalam, mencari sesuatu yang akan diberikannya kepada Alamanda. Tak butuh waktu lama, usahanya berhasil. Senyumnya lebar. Seringai wajahnya penuh kehangatan. “Happy birthday,” katanya seraya menyerahkan bungkusan kado berbentuk kotak.

Alis Alamanda bertaut. “Adry….”

Pemuda itu—yang bernama Adry, cekatan menutup mulut gadis di hadapannya, sebelum gadis itu kian memperpanjang protesnya. “Kan tadi malam udah rayain sama bapak kamu. Gantian, dong, hari ini sama aku.”

Gadis itu mau tidak mau mengaminkan ucapan Adry. Padahal, ia malas sekali menerima kado dan semacamnya. Bagi Alamanda, ulang tahun adalah hari merayakan kesepian. Kenapa orang-orang saling memberi kado? Apakah orang-orang sekitarnya senang dengan jatah hidupnya yang berkurang? Jujur saja, gadis itu selalu gagal paham dengan perayaan ulang tahun yang dipenuhi keramaian dan kado-kado. “Aku merasa sedang merayakan kematianku yang semakin dekat,” katanya sarkas.

Adry manyun, namun tak berlangsung lama. Ia paham betul bagaimana sarkasnya gadis di hadapannya itu. Makanya, dia adalah pemuda paling maklum jika banyak orang yang tak tahan mengomentari segala hal tentang Alamanda. Sebab, gadis itu selalu punya jawaban yang membuat orang-orang terpukul oleh kata-kata mereka sendiri. Iya, jawaban itu selalu berakhir dengan kalimat sarkas yang menohok hati. “Iya, biar kamu bahagia dulu sebelum mati.”

Alamanda tertawa pelan mendengar kalimat Adry. Pemuda itu benar-benar belajar membalas kesarkasan ucapannya. Tangannya segera membuka bungkusan yang disodorkan Adry tadi. Dan di dalamnya, ia menemukan sebuah buku berwarna dongker bertuliskan namanya. Buku itu didesain dalam bentuk hard cover dan di tengahnya ada tali pembatas. Kertasnya tanpa garis, melainkan motif dot yang berjajar rapi. Buku yang begitu sederhana dan misterius. Seperti dirinya. “Kenapa?” tanyanya seraya mengangkat buku itu, memamerkannya kepada Adry.

“Kamu jarang cerita. Salah satu cara menyalurkan emosimu adalah menulis. Apapun yang kamu rasain, yang nggak bisa kamu bagi dengan orang lain, termasuk aku ataupun bapak, kamu bisa tulis di situ. Dan kenapa warna serta desainnya begitu? Sebab itu khas kamu sekali. Sederhana dan misterius,” jawab Adry, yang diakhiri dengan senyum menenangkan. Tangannya meraih jemari gadis itu, lalu mengusapnya penuh kasih. “Jangan sarkas-sarkas banget, ya. Kasian tuh teman-teman yang pengin dekat sama kamu. Hahaha…” pemuda itu menamatkan kalimatnya disertai tawa yang pecah.

Alamanda harus ikut tertawa, sebab kalimat terakhir Adry adalah fakta paling menggelikan saat itu—yang sebenarnya sudah disadari gadis itu sejak lama. “Makasih, ya…” ucap gadis itu diikuti sebuah senyuman.

Adry selalu menyukai simpul senyum gadis di hadapannya. Senyum itu tidak hanya bersahaja, tetapi memiliki kekuatan yang selalu membuatnya jatuh cinta berkali-kali. Bagi pemuda itu, Alamanda bukan hanya seorang gadis yang dicintainya, tetapi juga spektrum warna yang membuat hidupnya lebih terarah. Jika bukan karena Alamanda, mungkin jiwanya masih tersesat dan melanglang entah ke mana; untuk menemukan apa, entah untuk mencari siapa.

Di hidup Adry, Alamanda seperti suar yang menuntunnya berlabuh. Maka sampai kapanpun, ia telah bersumpah tak akan berhenti mencintai gadis itu.

“Eh, ada mata kuliah yang ngulang, ya, makanya ngambil semester pendek?” tanya Adry setelah pelayan datang mengantar makanannya dan makanan Alamanda.

Alamanda menggeleng. “Enggak. Mau cepat tamat aja.”

“Dih, kuliah juga baru berapa semester, udah mau tamat aja.” Adry meracau tak terima. Sebab ia harus menerima kenyataan bahwa ia termasuk mahasiswa yang telat menyelesaikan pendidikannya.

Gadis di depan Adry tertawa mengejek. “Ya siapa suruh betah jadi mahasiswa lama-lama. Dikejar junior, deh.”

“Yeee… apaan. Bapak sehat?”

Alamanda terbatuk. Ia meminum es tehnya, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan Adry. “Sehat. Tadi malam bapak ngasih surat ke aku.”

Adry mengernyitkan dahinya. “Surat?”

“Katanya dari ibu aku.”

Lihat selengkapnya