Menjelang penghujung tahun, cuaca di daerah kepulauan lebih dingin dan berangin. Tak ada lagi sepoi angin seperti bulan-bulan sebelumnya. Laut yang tenang nan damai pun lenyap, berganti dengan gemuruh dan ombak besar. Angin selatan, kata penduduk sini.
Di cuaca yang seperti ini, para nelayan harus merumah. Perahu-perahu kayu mereka—yang biasa mereka sebut pompong—dikeratkan ke pacak di tepi laut, atau mengikatkan tali tambat di bolder dermaga, atau… untuk para nelayan kecil, mereka akan mengikatkan tali tambat pompongnya di bolder buatan sendiri pada teras rumah panggung mereka. Angin selatan selalu menjadi tanda alam bagi mereka untuk beristirahat panjang. Sebab nyawa lebih berharga di waktu-waktu seperti ini. Ombak besar bisa menghancurkan pompong mereka sewaktu-waktu. Meski untuk beberapa orang, melaut masih menjadi panggilan hati yang lebih kuat dari sekadar ancaman berkala seperti itu.
Di nun jauh, di pulau-pulau ujung Kepulauan Riau, penghujung hingga awal tahun biasanya dihabiskan dengan duduk-duduk di warung kopi, bercerita sepukul-dua pukul, atau menjaring ikan tamban yang sering datang menjelang sore.
Dan di ibukota kepulauan itu, Lara memilih berdamai dengan keadaan. Setelah enam bulan berlalu, perempuan itu sadar, bahwa tidak ada yang bisa dilakukannya selain menerima apa yang telah digariskan dalam hidupnya; meski pahit, meski sakit, meski tidak menyenangkan. Sebab pernah di suatu malam, ia bertanya tenang-tenang pada hatinya, apa yang membuat langkahnya sampai di kota asing itu? Apa yang membuatnya bertahan selama itu? Kelebat bayangan kedua orangtuanya dan adiknya menjadi jawaban atas pertanyaan besarnya malam itu. Maka, diputuskannya untuk berdamai, untuk menerima apa yang ada di hidupnya mulai saat itu.
Di kamar kos berukuran 4 x 3 itu, Lara sedang bermalas-malasan saat ponselnya berdering. Sebuah panggilan video. Meski ia tidak menyimpan nomor yang meneleponnya itu, namun ia tahu dengan jelas, siapa sosok yang akan dilihatnya jika ia mengangkat telepon itu. Dengan ragu pula, ia menjawab panggilan telepon itu.
“Lama ya ngangkatnya,” cecar seseorang dari seberang telepon.
Layar ponsel Lara gelap. Tidak kelihatan sosok yang meneleponnya. Tetapi suara itu, terdengar begitu akrab di telinganya. Dan dia harus mengakui, bahwa ia merindukan suara itu. “Kok posesif?” sahutnya, diikuti senyum yang mengembang. Perempuan itu mengalihkan kamera ponselnya hingga hanya menyoroti setengah matanya.
“Rindu loh… bukan posesif. Hihi…”
Jika boleh jujur, lelaki yang saat ini sedang menelepon Lara menjadi salah satu alasannya ingin meninggalkan kota asalnya. Sebab perempuan itu sadar, mereka berdua adalah ketidakmungkinan yang paling tidak mungkin di dunia ini. Tetapi panggilan telepon itu, benar-benar membuat Lara tidak bisa berlari dari perasaannya lagi. Bahwa di hatinya, meski begitu ingin menghindar, namun rindu itu tetap ada.
“Sehatkan?” tanya lelaki bernama Christian dengan suaranya yang ramah.
Lara mengangguk. “Abang sehat?”
“Enggak.”
“Lah, kenapa?”
“Lama kali pestanya kita. Nggak kuat nahan rindu.”
“Yeeee…” Lara protes, diikuti tawa mereka yang pecah.
Benar saja, Christian tidak hanya sekali meminta Lara menjadi istrinya. Perempuan itu pun bukannya tidak ingin bersama Christian, namun ada perbedaan yang tidak bisa mereka samakan.
Lelaki itu berdehem. “Aman di sana kan? Cocoknya abang pindah ke sana?”
Christian sosok yang baik. Ia memiliki karisma yang membuat semua perempuan akan memandangnya. Tetapi, tidak semua perempuan bisa menjadi akrab dengannya. Hanya perempuan yang dipilihnya saja yang akan memiliki akses atas hidupnya. Dan empat tahun belakangan ini, Laralah yang dipilihnya.
Christian delapan tahun lebih tua dari Lara. Lelaki itu pula yang bisa membuat Lara merasa terlindungi saat bersama. Meski penuh karisma, dan tidak sedikit pula perempuan yang ingin mendekatinya, namun Christian selalu berhasil mengenyangkan ego Lara. Lelaki itu selalu berhasil membuat Lara yakin, bahwa ia satu-satunya perempuan yang saat itu dipilihnya. Sebagai perempuan yang cemburuan, mindset Christian dan sikap cueknya selalu berhasil membuat Lara merasa tenang. Ya, lelaki itu selalu memiliki tembok pembatas yang hanya bisa diseberangi oleh orang-orang yang dipilihnya saja.
Lara dan Christian tidak pernah menyatakan kebersamaan mereka dalam sebuah ikatan. Tidak pula mereka selalu bertukar kabar setiap saat. Sebab mereka saling tahu, sejauh apapun jarak di antara mereka, mereka akan saling menemukan pada akhirnya. Tetapi, mereka berdua juga tahu, ada perbedaan yang teramat sulit untuk disamakan.
Christian tidak bisa menyamakan seperti malam Lara dengan mazmur usai subuhnya. Tak bisa pula perempuan itu membersamai langkah Christian di penghujung pekan dengan lima kali sehari derapnya. Lelaki itu tidak bisa mengoreksi makhraj dalam tiap bacaan Lara, seperti Lara yang tidak bisa mengerti gemuruh di dada Christian, tiap kali lelaki itu menangkupkan kedua tangannya di depan dada. Mereka tidak bisa berada dalam rumah ibadah yang sama.
“Aman. Cocok, Bang. Pindahlah cepat, biar nggak ribut terus kita. Haha…” jawab Lara. Ia harus mengakui, tiap kali mereka berjauhan, selalu ada hal yang membuat komunikasinya dengan Christian menjadi kacau. Tidak sepenuhnya salah Christian, lelaki itu hanya terlalu jujur berkata-kata, sedang Lara teramat perasa dan penyegan.
Christian tidak tertawa. Perempuan itu langsung diam. “Udah siap?”
Lara diam. Ia paham benar apa yang dimaksud lelaki itu dengan kata ‘siap’. Dalam hatinya, ada ingin untuk mengiyakan pertanyaan Christian. Tetapi dalam kepalanya, ada argumen yang membuatnya ingin menolak mentah-mentah tawaran itu.
Christian lelaki yang sudah cukup dewasa. Usia tiga puluh tiga sudah cukup baginya untuk mengenali gelagat seseorang. Belum lagi profesinya sebagai guru yang sudah sangat biasa menghadapi berbagai tipe manusia. Maka ia langsung menambahkan ucapannya, “belum siap, kan? Makanya jangan banyak kali gaya.”
Lara tersenyum tipis.
“Mana mukanya? Kok macem video call-an sama mata satu. Rindu ini loh…” kata lelaki itu. Christian mencoba mencairkan suasana, meski dalam hatinya ia kesal setengah mati dengan tingkah Lara yang satu itu. Lara selalu menyatakan keinginannya, termasuk hidup bersamanya. Tetapi, perempuan itu tidak pernah siap dengan konsekuensinya; berpindah rumah ibadah.