Perempuan Berwajah Duka

Goebahan R
Chapter #9

ENAM

“Bapak pengin ketemu sama ibu kamu, Nduk,” ucap lelaki tua itu pada Alamanda.

Alamanda meletakkan pulpen yang sejak tadi dipegangnya. Ia mengerjakan tugas di ruang tamu, sedang bapaknya lagi asik-asiknya menghabiskan singkong rebus saat tiba-tiba kalimat itu meluncur dari mulut lelaki tua itu.

Gadis itu mengernyitkan dahi, lantas bertanya dengan suara yang hampir dilenyapkan angin, “kenapa?”

Yang ditanya hanya tersenyum. “Rindu, Nduk.”

“Ibu masih hidup?”

Senyap.

Kedua bapak-anak itu terdiam beberapa jenak. Meski tanpa kata-kata, Alamanda dapat menangkap air muka bapaknya seperti apa. Ada sedih yang menggantung di wajah lelaki tua itu.

“Masih, Nduk.”

“Tahu darimana?”

“Dari sini.” Bapaknya menunjuk ke dada sebelah kirinya.

Meski sejak kecil Alamanda tidak pernah bertemu dengan ibunya, meski berulang kali ia bertanya pada bapaknya ke mana dan di mana perempuan yang telah melahirkannya, meski tak pernah ia mendapat jawaban pasti atas pertanyaan-pertanyaannya itu, namun satu hal yang selalu ia tahu; ibunya pastilah sosok yang baik, hingga membuat bapaknya enggan menikah dan memilih menunggu ajal dalam kesendiriannya.

Jika gadis itu bertanya pada kakeknya dulu, atau kepada pakde dan omnya, semua hanya akan tersenyum dan mengalihkan pembicaraan. Sebagai anak kecil, Alamanda berulang kali mengakhiri pertanyaan itu dengan kekesalan yang bercokol di hati. Tidak sekali-dua kali pula ia merasa dipermainkan oleh orang-orang dewasa itu. Tetapi, semakin bertambah usianya, semakin ia maklum dengan ketiadaan ibunya di dalam kehidupannya.

Alamanda menghela napas, menutup buku tugasnya. “Bapak kenapa ndak nikah lagi, sih?”

Bapaknya tertawa. “Emang kamu mau disiksa ibu tiri?”

“Daripada ndak punya ibu,” sahut gadis itu, yang ditingkahi tawa renyah bapaknya. Ia pun ikut tertawa akhirnya.

“Bapak belum ketemu perempuan yang seperti ibu kamu, Nduk.”

“Memangnya ibu gimana?”

Lelaki tua itu terbatuk. Lalu ia meneguk air minum di gelasnya. “Hati ibumu teramat luas, Nduk. Jika ada sebuah ruang yang menerima segala keburukan Bapak, maka itu hanya ada di ruang hati Ibumu.”

Entahlah. Tumbuh tanpa sosok ibu, membuat Alamanda membenci tentunya. Tetapi untuk alasan yang tidak dimengertinya, hatinya seolah begitu lapang untuk memaklumi keadaan itu serta memaafkan ibu yang belum pernah dijumpainya—meski tidak pernah membacakannya dongeng sebelum tidur, tidak pernah membuatkannya bekal nasi goreng, tidak pernah menguncir rambutnya.

Lihat selengkapnya