Jika ada orang yang berkata PNS hanya makan gaji buta dan bisa kaya, maka Lara akan menjadi barisan paling depan yang membantah pernyataan itu. Setengah tahun menyandang gelar abdi negara, menjadi bagian dari perubahan dan huru-hara Indonesia, membuat mindset perempuan itu berubah secara drastis. Bahwa apa yang ada di pikirannya dulu, adalah kesalahan besar.
Dulu, bagi Lara, PNS hanyalah profesi yang bisa mengamankan kehidupan seseorang; dipenuhi uang, jam kerja sembarangan, integritas tak diperhitungkan. Kau tidak perlu menjadi orang yang pintar hanya untuk menjadi PNS, yang kau perlukan hanyalah uang yang banyak untuk menyuap orang-orang yang bisa menjaminmu menduduki salah satu kursi di instansi pemerintah. PNS bukan profesi, melainkan kamuflase. Negara hanya menghamburkan uang dengan menggaji mereka.
Maka tidak heran, perempuan itu tidak pernah mencantumkan PNS dalam daftar cita-citanya. Tidak, sampai Lara menjadi akrab dengan Christian lima tahun belakangan. Meski tidak membuat perempuan itu lantas ingin menjadi abdi negara, namun lelaki itu menyadarkannya banyak hal; bahwa profesi apapun, posisi serendah apapun, peluang untuk berbuat curang dan culas selalu ada. Tidak hanya di instansi pemerintah, di swasta atau di manapun, peluang untuk korupsi pasti ada. Yang akan menghalangi semua itu adalah jiwa orang itu sendiri; seberapa besar ia memegang teguh iman dan janjinya. Christian pula yang mengajarkannya, integritas bukan hanya tentang prinsip moral dan etika berbangsa, melainkan lebih dari itu; mutu yang ada di dalam hati manusia.
“Kuliah tinggi-tinggi untuk apa?” tanya Christian empat tahun yang lalu.
Lara mengedikkan bahu. “Pengusaha. Buka usaha. Apapun yang penting aku nggak perlu terikat waktu,” jawab perempuan itu sekenanya.
Christian tersenyum sinis. “Kalau hanya mau jadi pengusaha, empat tahun masa kuliahmu bisa dipakai untuk belajar gimana caranya berwirausaha. Tapi pun, terlepas dari itu, usaha ndak butuh modal?”
Lara terdiam.
“Kerja serabutan gini, meski gajinya besar, tapi ndak pernah tahu sampai kapan ada, kan? Kerja jauh, entah ke pelosok-pelosok mana. Jarang pulang. Di lapangan terus. Mau sampai kapan?” lagi-lagi lelaki itu mendominasi percakapan.
Perempuan itu mendengarkan dengan takzim. Meski ia tetap tidak setuju untuk mengikuti seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil, tetapi ia membenarkan semua perkataan Christian. Lara memang mengerjakan proyek ini-itu. Meski penghasilannya besar, nyatanya proyek itu tidak selalu ada. Dan tidak salah jika lelaki itu menyebut pekerjaannya serabutan. Nyatanya, perempuan itu memang terjun ke proyek manapun yang datang padanya. Tidak peduli sejauh apa jarak yang ditempuh, berapa lama ia harus pindah-pindah tempat demi menyelesaikan proyek itu, bahkan tidak sekali-dua kali pula ia harus keluar-masuk daerah terpencil di hutan-hutan Sumatera.
“Kenapa benci sama PNS?” tanya Christian.
“Makan gaji buta. Peluang korupsi banyak. Kalau ndak kita yang korupsi, ya kita jadi korban untuk melancarkan rencana korupsi orang,” jawab Lara sinis.
Christian tertawa—lebih sinis dari jawaban Lara. “Jadi, di matamu, aku juga begitu?”
Senyap. Kepala Lara dipenuhi pikiran dan kemungkinan-kemungkinan. “Kau berbeda, Bang.”
“Apanya yang berbeda?”
“Kau mengemban tugas itu sepenuh jiwamu.”
“Lalu kenapa kau tidak bisa melakukan itu juga?”
Hening.
Lara sibuk membenarkan setiap perkataan Christian, sedang lelaki itu menghela napas panjang. Ia tahu, menghadapi isi kepala perempuan di hadapannya tidak akan selesai dengan adu argument sekali pukul begitu. Perempuan itu cerdas, ia mengakui. Tetapi ia juga sadar bahwa ia lebih dominan dibandingkan Lara. Kalau hanya untuk memenangkan percakapan, ia berbakat. Tetapi untuk mengubah pandangan Lara, tidak pernah menjadi hal yang mudah.
“Lagipula, kalau lulus PNS, kan nanti Abang bisa pindah. Ke manapun kau ditempatkan, Ra. Kita jadinya dekat, kan. Nggak mau? Nggak capek ketemuan setengah tahun sekali kayak gini, itupun penuh drama karena kepalamu dipenuhi kecurigaan terhadapku.” Lirikan Christian menggoda Lara. Lelaki itu menahan senyum demi melihat pipi Lara memerah seperti kepiting rebus.
Lara tersenyum. “Apaan.”
“Loh, fakta ndak?”
“Hahaha… iya iya, aku juga yang salah.”
Lelaki itu merangkul bahu Lara. “Pertimbangkan sekali lagi. Pikirkan baik-baik. Masih banyak abdi negara yang jujur di negeri ini. Jangan hanya karena yang kau lihat di media adalah orang-orang yang ndak jujur, lantas semua yang menyandang status seperti mereka kau anggap culas. Kalau orang-orang jujur di negeri ini menolak menjadi bagian dari negara hanya karena alasan yang kau bilang tadi, maka siapa yang akan memperbaiki negeri ini, Ra?”
Lara tidak menyahuti lagi lelaki itu, tetapi ia benar-benar mempertimbangkan segala yang dikatakan Christian. Hingga tahun lalu, ketika ia mendaftarkan diri dalam seleksi CPNS, itupun karena lelaki itu; karena perdebatan panjang mereka.
Tahun berganti, Christian kian memberikan perempuan itu akses atas hidupnya. Ia semakin sering berbagi cerita di setiap kesempatan ketika mereka berdua bertemu—yang hanya terjadi enam bulan sekali saat Christian kembali ke kota asalnya.
Dari Christian pula Lara belajar memahami, bahwa sebagian PNS mungkin saja berakhir menjadi kaya. Tetapi di Indonesia ini, lebih banyak abdi negara yang berakhir dengan gaji pas-pasan. Jangankan membeli mobil mewah, memastikan dapur mengepul saja sudah syukur.
“Gajiku hanya satu juta delapan ratus. Kawan-kawanku di bawah itu,” kata Christian dua tahun lalu.
Alis Lara bertaut. Christian tahu arti dari raut wajah perempuan itu.
“Pengabdianku di sekolah negeri dihitung sebagai masa kerja, makanya gajiku lebih tinggi tiga ratus ribu dibanding yang lain,” lanjut lelaki itu, lalu ia meminum air di gelasnya.
Dengan cepat Lara menghitung segala pengeluaran Christian. Biaya hidup mulai dari makan, uang kos, uang bensin, dan lainnya. Lantas ia menarik garis lurus ke penghasilan lelaki itu. Bagaimana bisa? Sebab ia tahu dengan baik, Christian adalah penyokong keluarganya. Meski anak bungsu, tetapi punggungnya lebih kuat dari sulung di keluarganya. Tetapi, dengan penghasilan segitu, bagaimana bisa?
Christian menoyor jidat Lara.
Perempuan itu mengaduh. “Duh, sakit tahu! Kok?!” pipinya menggembung.
Lelaki itu tertawa. “Biasa aja mukanya. Jangan kira aku ndak tahu yang ada di kepalamu, Ra.”