"Ah, Kampret.. apanya yang estetik ketika hujan? banjir woy!" keluh Ugi, lelaki berambut kriwil itu memapah vespa tua dalam keadaan basah. Dia baru saja berlarut, bergelut diantara hujan dan banjir dari Baleendah menuju Dago untuk ke rumah Gilang, kawan sepertjuangan mahasiswa perfilman.Ā
Dari kejauhan Ugi melihat rumah Gilang, sebuah rumah dengan gaya kolonial dengan cat putih dan jendela yang tinggi-tinggi dengan halamannya luas dan rimbun dengan tanaman dan dipagari oleh pagar putih yang pendek.
Ugi menggernyit saat melihat seseorang yang duduk di depan teras seolah tengah menunggu sesuatu. Dengan sedikit gugup, Ugi akhirnya membuka gerbang dengan kikuk, dia memasukan motor ke jalan setapak diantara kebun, terus hingga ke teras dan parkir di samping sebuah mobil jeep merah.
Ugi menatap ke teras, seorang kakek tua tengah duduk di bangku taman yang sengaja di taruh di teras, bangku berbahan besi yang serasi dengan meja kecil di sampingnya. Sebuah tongkat tersampir di samping bangku si kakek.
Di meja kecil samping, ada secangkir kopi yang sudah habis hampir setengahnya, ada juga secangkir teh yang belum tersentuh. Sebuah piring berisi kue-kue tradisional ikut menemani. Sebuah kesunyian yang agung menyelimuti si kakek.
"Sore mbah, Gilangnya ada?" tanya Ugi sambil nyengir. Si kakek menoleh, raut wajahnya muram tanpa cahaya. Si kakek hanya mengangguk dan memberi isyarat pada Ugi agar dia masuk. Ugi mengangguk sambil sedikit meringis, Ugi pelan-pelan membuka pintu dan masuk ke dalam.
Gilang terlihat sedang tidur-tiduran di atas karpet tebal ruang tamu, di perutnya banyak berserakan kertas, sedangkan laptop sudah gelap layarnya di atas meja.
"Woi lang!" paggil Ugi, dengan kurang sopan dia menggoncang-goncang tangan Gilang dengan kakinya. Seketika, Gilang bangun dan langsung duduk.
"Itu di depan siapa? kok beda?" tanya Ugi sambil pelan-pelan duduk di karpet. Gilang menggernyitkan wajahnya keheranan, kemudian Ugi melanjutkan sambil nyengir, "kok beda? nenek lo kawin lagi?"
Mendengar itu Gilang langsung menepuk kepala Ugi dengan kesal sambil berkata, "Dih bego! Itu adiknya kakek gue! berani-berani ya lo fitnah mbah Uti yang paling cantik di dunia!"
Ugi cengengesan sambil melipak kedua kakinya, "Ye..siapa tau aja lang! abis dia kaya lagi nunggu orang, rakus banget cangkir dua... banyak kue, lagi!" canda Ugi.
Ugi langsung tiarap dan bergelinding menghindari amukan Gilang, makin senang Ugi melanjutkan mengolok-ngolok Gilang, "Gue kira mau ngapelin nenek lo, gaya banget gue pikir... cucunya aja jomlo bulukan!"
Gilang merengut, dia menunjuk ke arah pintu yang terbuka, "Alah apaan! dia juga masih jomlo noh!"
Ugi terbelalak, dia menoleh ke belakang untuk melihat siluet si kakek dari jendela yang tak bergerak sama sekali, "Hah? gilaa..." bisik Ugi sambil menggeleng-geleng, "sadboy-nya udah memfossil!..Ā ntarĀ lama-lama hatinya jadi batu bara!"
Gilang langsung mencomot bibir Ugi, menjambaknya sambil mendesis, "Udah ah bego! dosa tau ngomongin orang tua!"
Kemudian Gilang melepaskan cengkramannya dan menunjuk ke arah kopi di atas meja, "Udah, noh kopi buatan mbah Uti.. tadi dibikinin sebelum cabut ke Pasar Baru, udah tau dia mahluk macam lo dateng musti ada sesajen"
Ugi kembali cengengesan sambil menerima kopi tersebut sambil cengengesan, Gilang mengambil handphonenya dan tersenyum sambil menunjukannya pada Ugi.Ā
"Eh, gue ada kabar baik nih Gi" kata Gilang.
"Apaan?" sahut Ugi sambil mendekat dan mengintip ke handphone milik Gilang, pantulan kacamata Ugi menunjukan laman WhatsApp, terlihat ternyata Gilang chat dengan dosen pembimbing mereka.
Pengajuan Tugas Akhir atas nama Gilang dan Ugi ternyata diterima. Melihat itu, Ugi langsung menyimpan cangkir kopinya, kemudian mereka bersorak kegirangan sambil saling memeluk dan bergelindingan di karpet.
"Akhirnya beres sks! woooooo jadi sarjana seni!" pekik Ugi kegirangan.
Gilang mengangguk dengan senyuman yang memamerkan deretan giginya yang rapi sambil berkata, "lo peminatan ngambil scriptwriting kan? ujiannya bareng gue yuk lah Gi!"
Ugi langsung menggernyitkan keningnya, dia sedikit mundur ke belakang sambil melipat kedua tangannya, "emang lo ambil apa?" tanya Ugi.
Gilang langsung mendekat dan memasang wajah memelasnya, "penyutradaraan, yuk lah gi.. mau kan? males gue kalo sama yang lain!" pinta Gilang.
Ugi langsung menyipitkan kedua matanya sambil bergumam, "hmmm...mau nggak ya..." Ugi tersenyum menyabalkan sambil memeluk dirinya sendiri, dia selonjoran sambil menggeliyat menjijikan seperti cacing kepanasan sambil lanjut berbicara, "gak ada apa cewek cantik ambil penyutradaraan? aaaah siapa tau ntar cinlok, aw... malu banget!"
"Tega banget lo! lupa hah waktu jadi babu senior di himpunan, siapa yang jualan risol sama lo?" Gilang menyahut sambil menepuk-nepuk dadanya, "gue Gi... gue! najis nggak setia kawan!"
Ugi langsung memasang wajah masam sambil menendang kaki Gilang, "yaudah sih, sensi amat. Gini deh, kita diskusiin dari sekarang aja gimana? Lo udah ada rencana, apa... gitu?" tanya Ugi.
"Gue sempet ngobrol sama anak angkatan, katanya mereka banyak yang bikin short movie sama iklan.." sahut Gilang, kemudian dia diam sejenak. Dengan bermalas-malasan, Gilang berguling untuk mengambil laptop, kemudian dia lanjut berkata, "kalo bikin movie mau kaga? nggak usah takut duit samaĀ crewĀ dah.. ntar gue lobby bokap gue"