Perempuan dalam Kenangan

š¯”§ š¯”˛ š¯”« š¯”± š¯”¢ .
Chapter #2

Sinyo Tukang Nyanyi

Megah. Ruangan aula HBS berbalut hangatnya kain satin yang menghiasi dinding dengan beberapa buket bunga yang ikut bertengger di bawah cahaya lampu gantung kristal. Kain-kain satin berwarna krem itu terlihat seperti lelehan mutiara karena cahaya berwarna oranye dari lampu.

Aroma wewangian bunga-bunga putih dan musk yang belakang ini menjadi trend di Perancis sampai ke bumi priyangan, membawa secercah Eropa kecil yang bertemu dengan kearifan pala dan ramuan bumbu Hindia Belanda karena para muda-mudi yang datang berkerumun tidak jauh dari stall makanan dan buffet yang disediakan pihak sekolah.

Marno bergoyang, bahunya oleng ke kanan dan kekiri dengan cengiran menghiasi wajahnya. Kedua alis tebal Marno menukik tinggi, rambutnya yang sudah disemir mulai berantakan hingga beberapa helai jatuh ke depan. Tangannya masih asyik memetik banjo mengiringi nyanyian yang dia pertunjukan pada orang-orang yang hadir di sana.Ā 

"Goedenavond1Ā !" pekik Marno menyapa para hadirin, dia kembali menyanyi. Tidak lupa dengan kedipan mata kurang ajar yang dia layangkan pada gadis-gadis yang berdiri dekat dengan panggungnya.

"Goedeavond!" balas para tamu, sebagian dari mereka ikut berdansa kecil sedangkan sisanya hanya berdiri sambil memperhatikan Marno. Tentu saja, mereka berdiri di hadapan Marno dengan stelan Eropa, kemeja putih kerah tinggi dan bowtie dengan celana bahan, monokrom. Sepanjang mata melihat, abu-abu, putih, hitam dan krem.

Berbeda dengan Marno, dia dengan asyiknya mengacuhkan peraturan undangan dengan menggunakan beskap dan kain. Dia tidak takut sih, toh dia juga dipinta tampil bersama grup orkesnya, 'Orkes Djong Djava'. Buktinya, dia masih asik berdendang dibarengi oleh rekan-rekannya yang juga memakai beskap, sebuah papan kayu ukir jati dengan arsiran 'Orkes Djong Djava' nangkring di dinding belakang mereka.

Kemudian, di sela-sela nyanyian Marno kembali bicara, "Ik heet Marno2,Ā Ā Ik kom uit Gementee Cirebon3.Ā " katanya sambil nyengir dengan wajah menyebalkan tersemat di bibir tipisnya, "Leuk je te ontmoeten4.Ā Barang kaliĀ meneer dan juffrouw5...Ā sudah pernah ke Cirebon?" tanya Marno.

Marno mengedarkan tatapannya, dia tersenyum sambil memandangi para tamu yang hadir. Sebagian besar dari mereka menggelengkan kepalanya.

Melihat itu, Marno langsung membuat tampang terkejut yang dibuat-buat, "belum?" tanya Marno sambil menunjuk satu persatu tamu yang hadir, "belum juga? waduh...." Marno menggeleng-gelengkan kepala dengan raut wajah kecewa.

"Terlalu! besok-besok saya ajak pelesir ke tempat kelahiran saya, mau kan?" tanya Marno sambil mengedipkan matanya, "tenang, tidak usah dijawab sekarang, pikirkan saja lagi.. biar saya bisa siap-siap kalau ada yang mengiyakan.."

Anggota orkes Djong Djava yang lain menyoraki Marno dengan kesal, diikuti juga oleh para penonton. Si Marno cuma menyeringai dengan raut menyebalkan sambil memetik-metik banjonya lagi, lebih tepatnya dia cari muka ke para penonton perempuan yang menggerumbungi lantai dansa.

Kemudian, salah satu dari gadis muda yang berdiri di sana dengan malu-malu mengangkat tangannya, "Sinyo! saya ada pertanyaan!"

Marno langsung menoleh, dia tersenyum ke arah si gadis muda. Dia terlihat seperti boneka, dengan rambut coklat kemerahan dan mata biru gelap, dia memakai gaun merah marun sederhana dengan sarung tangan satin panjang hingga menyentuh sikunya, di leher tersampir kalung mutiara yang serasi.Ā 

"Iya, apa pertanyaanĀ juffrouw?" tanya Marno, si gadis bergaun merah dengan malu-malu menunduk dengan rona di kedua pipinya sambil bertanya melirik malu-malu ke arah Marno, "jika saya mau ke Cirebon, bagaimana saya cari sinyo?" tanya gadis itu.

"Oh, cari saya?Ā mudah sekali,Ā juffrouw. Saya mulai besok bersekolah di sini..." kata Marno sambil menyeringai, "jadi nanti-nanti kalauĀ juffrouwĀ terpikir mau ajak saya, juffrouw bisa jalan ke luar kelas lalu panggil saja yang kencang,Ā Marnooooo!"Ā celoteh Marno, dia berteriak kecil di akhir seolah memperagakan bagaimana si gadis itu harus panggil dia nantinya, diiringi petikan-petikan asal dari banjonya.Ā Ā 

"Nah, kalau dengar seorang perempuan berteriak ke saya macam itu, sudah pasti saya bakal tunggang langgang datang kehadapan anda!" tambah Marno. Omongannya itu dihadiahi pukulan bow oleh Setra, si pemain cello yang sudah keki di belakang Marno.Ā 

Marno cuma cekikikan sambil lanjut bersenandung kecil dan memetik banjo di tangannya, sementara kawan-kawannya yang lain mulai keki dengan wajah masam.

"Heh, besok-besok kita sekalian bawa tukang jinak hewan.." bisik Setra pada Lim yang sedang berdiri di samingnya dengan sebuah gitar, "lihat, buaya dari muara mana.." tambah Setra sambil menunjuk ke arah Marno yang masih terlihat gatal.

Lim mengangguk mengiyakan, pria muda keturunan Tionghoa itu mendesis, "Memang sarap. Kasihan aku sama ibuknya di kampung, capek-capek tanak nasi, yang makan anak kurang ajar macam dia!"

Marno menjulurkan sedikit lidahnya, dia menggigit bibir sambil menggerling saat wajahnya menoleh ke arah rekan-rekannya, "tampaknya penampilan kami cukup ya malam ini.. takutnya kalian bosan nanti tiap ketemu dengan saya.." kata Marno, kemudian matanya melirik ke arah kelompok penampil selanjutnya.

"Selamat malam dari kami, orkes Djong Djava..Ā silakan menikmati dansa anda.." Marno menutup penampilannya, anggota orkes Djong Djava perlahan-lahan mulai membereskan perlengkapan musik mereka dan turun dari panggung.Ā Ā 

Lihat selengkapnya