"Kau bau" itu kata pertama yang sampai di telinga Marno ketika dia memutuskan untuk menhiyakan ajakan dari Benjen untuk menemui teman-temannya. Marno mengerutkan keningnya, dia melihat satu-persatu anak di depannya. Ada tiga orang anak laki-laki di hadapannya, dua orang Eropa dan satu orang timur tengah.
"Maaf?" Marno memicingkan wajah, dia terlihat agak bingung sambil berusaha membaui dirinya sendiri. Tapi, salah seorang dari anak-anak itu malah tertawa dan bertepuk tangan, "bravo, Marno! ternyata kamu tidak mudah tersinggung" katanya. Anak laki-laki itu kelihatan sedikit lebih tua dari Marno, dengan tubuh tinggi menjulang, rambut pirang klimis dan sedikit kumis yang bikin Marno gigit lidah menahan tawa, "saya Johan" katanya.
Johan menunjuk ke arah dua anak lagi, "yang rambutnya merah itu Owen, dan yang timur tengah Zahid" kata Johan. Owen dan Zahid terlihat diam saja dan memperhatikan Marno. Kedua mata Marno melirik satu-persatu anak-anak di depannya sambil mengangguk-angguk dengan ekspresi bingung.
"Jadi?" Marno memiringkan kepalanya, ia melipat tangan sambil melirik ke arah Benjen, "perkara kemarin suruh bawa zak lebih untuk...?"
Benjen nyengir, suara tawanya menyebalkan saat dia berjalan dan merangkul Marno, satu tangan ikut merangkul Johan, "plezir1, kita..."
Marno kembali mengerutkan dahinya sambil mengedarkan pandangan ke arah anak-anak itu, mereka terlihat menyeringai dan mengangguk-angguk, Marno merasa tidak enak perasaan. Biasanya, kalau anak-anak seumur mereka sudah begitu, kemungkinan besar itu tandanya mereka mau mengacau.
"Ayo" ajak Benjen, dia menengadah ke arah taman, mengajak Marno serta teman-temannya berjalan mengikuti menuju gerbang sekolah. Sebuah dokar dengan satu kuda yang lumayan pendek terlihat, bersama seorang kusir muda telanjang dada dengan celana kain dan ikat kepala.
"Kita mau ke mana, sih?" Marno mengomel, meski dia menerima saja tawaran Benjen, satu-persatu dari mereka mulai naik ke atas dokar tak beratap. Duduk saling berhadapan dengan Owen yang tiba-tiba mengeluarkan blik2. Owen menyelipkan sebatang rokok dan mematiknya, dia menawarkannya pada Marno, "nih" Owen menawarkan yang tentu saja disambut baik oleh Marno.
"Ini dokar atau kereta api" cibir Zahid sambil mengipas-ngipaskan tangan, "makin laju kok makin tebal asapnya"
Menanggapi itu Owen dan Marno cuma cengar-cengir sambil mengalihkan pandangan pada suasana kota Bandung sore hari. Semuanya terlihat lembut karena sinar mentari dengan hangat menyelimuti kota, dominasi oranye membuat warna-warna cerah lebih jinak, dan warna-warna lain yang pendiam jadi lebih bersemu.
Memasuki area Bragaweg3, toko-toko dan restoran mulai terlihat. Marno menengadahkan kepalanya ke luar, membiarkan sinar mentari menindih wajah dan rambut ikalnya. "Awas jatuh" Benjen menarik kemeja Marno, membuat rokok di bibir Marno jatuh dan dia langsung mengerang kesal.
"Aku tahu kamu suka plezir seperti ini, tapi simpan dulu sikapmu itu, hari ini bakal panjang" kata Benjen. Marno mengangkat kedua alisnya, "mau kemana saja memang?" tanya Marno.
"Kita lihat-lihat toko, lalu makan dan kita ke Oude Kerkhofweg4, papa minta dibelikan kopi, makanya aku dapat zak lebih" kata Benjen.
"Oooh" Marno kembali mengangguk-ngangguk, "sebenarnya buat apa kalian ajak aku?"
"Jelas. Kau aneh" kata Zahid. Belum sempat Marno membalas, Owen langsung memotong, "maksudnya kamu asik, lagipula kamu juga bisa bermusik... menurutku itu sudah cukup untuk cari relasi"
"Sok tahu" balas Marno, dia kembali melihat-lihat Bragaweg, yang sejujurnya dia bahkan belum pernah kemari sejak pindah ke Bandung. Tidak seramai Batavia, tapi cukup mengasyikan untuk disaksikan keramaiannya. Marno lihat bermacam-macam orang, mungkin karena Bandung lebih dingin, Marno baru lihat-lihat orang yang memakai mantel dan syal.
"Bagus, kan? selamat datang di pusat kegiatan Eropa" pamer Benjen, dia tersenyum bangga, "aku lahir di sini" tambahnya.
"Kalau aku lahir di kapal5" sambung Owen, "yang penting ada bendera Britania Raya, tanah orang tua ku"
Marno hanya mengangguk-angguk dengan ekspresi wajah bosan, tapi semua itu berubah saat sekilas dia melihat sosok Nancy yang tengah berjalan dengan seorang laki-laki. Marno tidak mengatakan apapun, hanya mata dan lehernya yang bergerak. Baru kali itu Marno melihat Nancy memakai pakaian warna cerah yang terlihat cantik di tubuhnya. Gadis itu terlihat seperti bunga telang yang merekah di bawah sinar mentari.
"Heh, kamu lihat apa? dengar tidak?" Owen mengomel sambil menyenggol Marno, meski yang diajak bicara malah balas menempelengnya dengan kesal karena sosok Nancy menghilang di tikungan jalan dengan laki-laki lain.
"Heh, sudah! bikin malu saja!" dari belakang Benjen dengan sigap langsung menggeplak kepala dua kawannya yang sedang bersiteru, dia mencengkram ubun-ubun keduanya dan mengarahkannya dengan paksa ke arah sebuah restoran kecil bernuansa Eropa Selatan, "tuh, sudah sampai"
Benjen menyerahkan beberapa guilden pada kusir, "tunggu, kamu boleh istirahat dulu, saya lunasi kalau sudah selesai" perintahnya yang disambut anggukan si kusir, sementara teman-teman yang lain dengan tidak tahu diri meloncat turun dari dokar. Udara yang sedikit panas menyambut mereka, sepanjang jalan ada beberapa orang anak pribumi yang tengah menyeroki kotoran kuda kedalam karung, sebagian mobil yang lewat juga membuat udara sedikit lebih pekat dari biasanya.
"Lagian kalian kok seperti gadis, hobinya keliling lihat toko" protes Marno, yang tentu saja dibalas sikutan dari Zahid, dia kelihatan tersinggung.
"Mending lihat-lihat baju, bodoh... daripada lihat-lihat anak perempuan orang terus dibikin nangis" tuding Zahid, "ayo ngaku, kau juga tadi di dokar kepala berputar karena lihat ada perempuan kan? ayo ngaku mata keranjang!"
Benjen malah tertawa kesenangan melihat dua orang bersitegang, menurutnya itu adalah hal yang sangat seru melihat dua kawannya bertingkah.
"Ah, segitu? kelahi! kelahi!" pekik Owen kegirangan, tentu saja disambut sambitan tangan dari Marno dan Zahid.
"Eh..." Marno melipat kedua tangannya, "tapi Zahid tidak salah sih... saya tadi lihat Nancy"