"Hai Marno," seorang gadis menyapa waktu Marno yang berjalan dengan wajah keki dan rambut basah di lorong, hari ini dia datang pagi buta sebab belum sempat mengerjakan tugas yang diberikan. Niat busuk mencontek dari kawan lain muncul sejak malam sebelum tidur, sebab tentu kedua matanya lebih asyik melotot untuk nonton komedi stambul1 dibandingkan dengan melihat lembarann soal yang bikin runyam.
Marno yang disapa hanya mengerutkan kening heran dengan wajah yang menoleh mengikuti perempuan asing itu berjalan melewatinya. Kembali kening itu berkerut saat beberapa orang lagi menyapanya. Marno menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil terus berjalan, dia menunduk untuk memeriksa pakaian yang dia kenakan. Marno tidak merasa ada yang aneh.
Marno memasang ekspresi aneh saat beberapa anak perempuan lain seperti berbisik lalu tertawa-tawa satu sama lain. Marno berkedip sambil membuang pandangannya, 'apasih?' batin Marno heran. Hari ini pikirannya sudah jelek, belum malas mengerjakan tugas, pula bahunya yang memanas karena menggendong cello untuk pelajaran musik di pelajaran keempat. Sial, guru-guru itu ingat saja kalau Marno memang anggota orkes, padahal biasanya mereka acuh semua kalau tidak ada hal-hal bersifat menguntungkan seperti itu.
Sekolah masih lumayan sepi, dan gerimis seperti kemarin, beberapa murid pasti sengaja datang siang atau meliburkan diri kalau begini. Marno sih memilih membelah hujan karena malas bawa payung dan memilih tetap bergaya dengan bawa sepeda.
Marno masuk ke kelasnya yang masih sedikit kosong, cuma ada Benjen dan beberapa anak lain yang duduk di meja masing-masing.
Beberapa bisik-bisik Marno dengar saat dia masuk ke kelas, namun Marno memilih untuk langsung menghampiri mejanya, dia membanting tas cello yang dia bawa membuat beberapa wajah menoleh lalu memalingkan perhatian mereka kembali ke arah lain. Benjen yang sedang menulis terkejut, lalu wajahnya sumringah.
"Wih, cello punyamu?" tanya Benjen.
"Bukan. Saya pinjam dari anggota orkes, kemarin selepas latihan," jawab Marno agak ketus, dia menghela napas lalu membuka tas cello yang ia bawa, rupanya dia ikut menyelipkan beberapa buku di dalam. Marno mulai mengerjakan tugas sambil mengintip jawaban milik Benjen, "eh... orang-orang kenapa? kok sepertinya saya jadi buah bibir, ya?" tanya Marno heran.
Mendengar itu, Benjen berhenti menulis, dia malah tertawa sambil menutup wajahnya. Kulit putih Benjen membuat wajahnya merah padam, "Marno, kamu bekend2 sekarang!"
Marno mengangkat satu alisnya keheranan, "hah? iya, kah?" keki di wajahnya berubah jadi rasa bingung, ia ikut serta berhenti menulis dan menatapi Benjen, menunggui anak itu berhenti tertawa terbahak. Marno menggaruk kepalanya, "memang saya ngapain? bikin masalah?" Marno bertanya dengan penasaran.
"Percaya tidak percaya, Marno..." Benjen yang sudah agak terhenti tawanya mmulai bertutur, "kamu sekarang jadi perhatian karena kemarin marah-marah waktu tolong si Nancy,"
"Hah?" Marno keheranan mendengarnya, "bukannya saya justru maki-maki, ya?"
"Mana tahu, Mar..." Benjen terkekeh sendiri sambil lanjut menulis, "mungkin suka tuh dengar bentak-bentak,"