Perempuan Dalam Sunyi

Zizan
Chapter #1

Bab 1: Bisikan di Balik Kain Batik



Udara Padang selalu membawa aroma lembap tanah basah dan wangi rempah yang dimasak di dapur-dapur rumah gadang. Rangga kecil mengenalnya sebagai rumah, tempat di mana norma-norma ditegakkan sekuat tiang-tiang bangunan tua itu.


Ia lahir dan tumbuh di sebuah rumah sederhana namun kokoh, terletak tak jauh dari pusat kota, dikelilingi oleh tetangga yang saling kenal dan saling awas. Keluarga Rangga adalah tipikal keluarga Minang pada umumnya. Ayah seorang guru mengaji yang disegani, berwibawa dengan sorot mata tajam namun penuh kasih. Ibu adalah penenun ulung, tangannya cekatan merangkai benang menjadi motif-motif indah yang kerap ia jual di pasar lokal.


Mereka mendidik Rangga dan kakaknya, Erika, dengan nilai-nilai agama dan adat yang kuat, menanamkan pentingnya kehormatan dan peran sesuai gender.


Sejak kecil, Rangga dididik untuk menjadi "urang nan sabana jantan," lelaki sejati. Ia diajari mengaji, bermain sepak bola di lapangan becek bersama teman-teman sebaya, dan membantu Ayah di musala.


Harusnya, itu adalah cetakan yang sempurna. Harusnya, Rangga tumbuh menjadi cerminan harapan orang tuanya, penerus adat yang kelak akan menjadi kepala keluarga yang dihormati.


Tapi di balik kemeja koko dan sarung yang ia kenakan setiap Jumat, ada bisikan lain. Bisikan yang sangat halus pada awalnya, namun perlahan menguat, merayap dari sudut-sudut paling rahasia dalam dirinya.


Erika, kakaknya, adalah definisi perempuan Minang yang anggun. Rambutnya hitam panjang, selalu tergerai rapi atau disanggul sederhana. Geraknya halus, bicaranya lembut, dan ia selalu memakai baju kurung yang dijahit Ibu dengan teliti.


Kamar Erika adalah kebalikan total dari kamar Rangga yang berisi poster bola dan tumpukan komik. Kamar Erika berbau melati dan bedak bayi. Lemarinya terbuat dari kayu jati tua yang dipoles hingga mengkilap, berisi tumpukan kain batik, songket, baju kurung berbagai warna, dan deretan daster berbahan katun lembut.


Di sudut, ada meja rias kecil dengan botol-botol parfum, sisir bergigi jarang, dan beberapa kotak bedak yang beraroma manis. Bagi Rangga, kamar itu adalah dunia lain, dunia yang penuh misteri dan daya tarik tak terlukiskan.


Momen itu terjadi saat Rangga berusia delapan tahun. Siang itu, rumah sepi. Ayah pergi mengajar di musala desa sebelah, Ibu sedang ke pasar, dan Erika sedang membantu tetangga menyiapkan acara lamaran.


Rangga seharusnya bermain layang-layang di lapangan. Tapi entah kenapa, kakinya malah melangkah ke arah kamar Erika. Jantungnya berdebar, bukan karena takut ketahuan mencuri mangga tetangga, tapi karena sensasi aneh yang menariknya ke sana.


Tangannya yang mungil perlahan membuka pintu kamar Erika yang tidak terkunci.


Aroma melati dan wangi khas perempuan langsung menyergap indranya. Rangga melangkah masuk, kakinya menginjak karpet tebal dengan motif bunga. Pandangannya langsung tertuju pada lemari kayu jati yang sedikit terbuka.


Di dalamnya, tumpukan pakaian tertata rapi. Ia meraih salah satu daster Sabrina milik Erika, yang terbuat dari bahan katun tipis berwarna biru muda. Kain itu terasa begitu lembut di tangannya, dingin dan halus.


Ia menyentuhkannya ke pipi, lalu ke lengannya. Ada rasa nyaman yang asing, namun begitu memikat.


Tangannya bergerak lebih jauh, terutama ke sudut tersembunyi di mana tumpukan pakaian dalam tersimpan. Ia merasa seperti pemburu harta karun yang akhirnya menemukan puncaknya. Ada beberapa potong BH renda dan celana dalam berbagai model.


Lihat selengkapnya