Perempuan Dalam Sunyi

Zizan
Chapter #2

Bab 2: Bayangan di Cermin Buram



Tahun-tahun berlalu di Padang. Aroma tanah basah dan rempah itu tetap sama, menjadi latar dari pertumbuhan Rangga dari bocah lelaki menjadi remaja tanggung. Namun, dunia di dalam diri Rangga terus bergejolak.


Bisikan di balik kain batik itu kini tak lagi samar. Ia menguat, menjadi panggilan yang lebih mendesak, sebuah obsesi yang tak bisa diredam.


Kamar Erika bukan lagi sekadar tempat misteri, melainkan sebuah tujuan, sebuah pelarian yang Rangga rindukan dengan hasrat yang membara setiap kali ada kesempatan.


Hasrat itu seperti air yang terus mengalir mencari celah, semakin dalam dan kuat. Rangga semakin cerdik dalam mencuri-curi kesempatan.


Ia belajar mengenali jadwal harian anggota keluarganya dengan teliti. Ibu selalu sibuk di pasar atau dengan pesanan tenun hingga sore hari.


Ayah punya jadwal mengaji rutin di musala, ditambah kunjungan ke rumah jemaah. Erika, yang kini duduk di bangku SMA, sering pulang terlambat karena ekstrakurikuler atau belajar kelompok.


Momen-momen itu, ketika rumah sepi dan hening, adalah surga kecil yang Rangga nanti-nantikan.


Kadang, ia akan menunggu hingga semua orang pergi, lalu buru-buru mengunci pintu depan dengan kunci cadangan yang ia temukan.


Dengan jantung berdebar kencang seperti genderang tak beraturan di dada, ia akan menyelinap ke kamar Erika.


Di sana, ia tidak lagi sekadar mencoba pakaian dalam Erika. Eksplorasinya menjadi lebih berani, lebih detail, dan lebih intens.


Ia akan mengeluarkan baju kurung Erika yang berwarna-warni, meraba bahan brokatnya yang halus atau satinnya yang licin.


Ia akan mencoba memakainya, merasakan bagaimana kain itu melorot di bahunya yang belum selebar milik laki-laki dewasa, atau bagaimana kerahnya yang sempit membatasi geraknya.


Ia membayangkan dirinya berdiri anggun seperti Erika saat mengenakan pakaian adat itu untuk acara keluarga.


Ia juga bereksperimen dengan kain sarung milik Ibu atau Erika, melilitkannya menjadi rok panjang hingga mata kaki, lalu berjalan mencoba melangkah layaknya perempuan Minang yang anggun.


Kain itu terasa berat, namun langkahnya menjadi lebih lembut, lebih hati-hati, seolah takut mengganggu kesunyian ruangan.


Ia bahkan mencoba menyanggul rambutnya yang cepak dengan handuk atau kain, lalu memakai jepit rambut Erika, meniru gaya sanggul yang sering ia lihat di pesta atau perayaan.


Semua itu dilakukannya di depan cermin kecil di meja rias Erika, menatap bayangannya dengan rasa penasaran yang tak kunjung padam.


Namun, yang paling ia sukai, yang menjadi inti dari obsesinya, adalah pakaian dalam Erika.


Ia akan mengeluarkan semua BH renda dan celana dalam G-string itu, menghirup aroma khas Erika yang menempel pada kain.


Ia akan memakai BH yang pas di dadanya yang masih rata, merasakan renda yang menggelitik kulit, seolah memberinya bentuk yang tidak ia miliki.


Celana dalam G-string, meskipun kebesaran, memberikan sensasi minim dan sensual yang tak tergantikan.


Ia akan memakai semua itu di bawah daster atau gaun tidur Erika, berputar-putar di depan cermin, mengamati bagaimana kain-kain itu jatuh di tubuhnya, bagaimana mereka menciptakan siluet yang feminin.


Sensasi mengenakan pakaian perempuan bukan lagi sekadar rasa nyaman, melainkan sebuah perwujudan.


Lihat selengkapnya