Tahun-tahun di bangku SMA telah berlalu bagai sandiwara panjang bagi Rangga.
Setiap tawa yang ia lontarkan, setiap janji "lelaki sejati" yang ia ucapkan, terasa seperti bagian dari naskah yang harus ia hapal.
Jiwa Rena di dalamnya berteriak, terimpit di bawah beban ekspektasi dan norma sosial Padang yang kaku.
Ia tahu, ia butuh pelarian.
Sebuah gerbang, sebuah pintu menuju dunia di mana bisikan-bisikan dalam dirinya bisa sedikit bernapas.
Gerbang itu akhirnya terbuka lebar saat pengumuman kelulusan SMA tiba.
Rangga berhasil diterima di salah satu universitas ternama di Jakarta.
Kabar itu disambut gembira oleh Ayah dan Ibu.
Mereka melihatnya sebagai bukti ketekunan Rangga, sebagai langkah awal menuju masa depan cerah yang bebas dari kungkungan kampung halaman.
Bagi mereka, ini adalah kebanggaan.
Bagi Rangga, ini adalah tiket emas menuju kebebasan.
Perjalanan dari Padang ke Jakarta terasa seperti membelah waktu.
Setiap kilometer yang ditempuh bus malam itu menjauhkan Rangga dari rumah, dari tatapan menghakimi tetangga, dari nasihat-nasihat tentang maskulinitas yang ia hafal di luar kepala.
Duduk di kursi bus yang sempit, menatap cahaya kota-kota kecil yang melintas di kegelapan, hati Rangga diliputi perasaan campur aduk.
Lega yang luar biasa, harapan yang membuncah, namun juga sedikit rasa bersalah karena meninggalkan semua itu.
Udara Jakarta menyambutnya dengan desauan bising kota besar, bau asap knalpot, dan kelembapan yang berbeda dari Padang.
Namun, bagi Rangga, itu adalah aroma kebebasan.
Kota ini adalah raksasa yang tidak peduli siapa dia, apa rahasianya.
Jutaan orang bergerak, sibuk dengan dunianya sendiri, tanpa waktu untuk menghakimi satu sama lain.
Di sinilah, di antara keramaian yang anonim, Rangga merasa bisa menjadi dirinya sendiri.
Ia menarik napas dalam-dalam, paru-parunya terasa penuh untuk pertama kalinya.
Ia mencari dan akhirnya mendapatkan sebuah kamar kos kecil di daerah padat mahasiswa, tidak terlalu jauh dari kampusnya.
Kamar itu sederhana sekali.