Setelah momen epifani di depan cermin kosnya, Rangga tahu satu hal sosok yang muncul itu membutuhkan sebuah nama. Sebuah identitas yang terpisah, sebuah panggilan yang sah. Ia tidak bisa lagi menyebutnya sisi lain Rangga atau diriku yang aneh. Sosok itu memiliki jiwanya sendiri, hasratnya sendiri, dan kini, butuh namanya sendiri.
Rangga menghabiskan beberapa malam memikirkan nama yang tepat. Ia ingin nama yang lembut, feminin, tapi juga memiliki kekuatan tersendiri. Nama yang tidak terlalu mencolok, namun mudah diingat.
Pikirannya melayang pada berbagai nama perempuan yang ia kenal atau dengar. Ada Rina, Ranti, Rara. Tapi tak ada yang terasa pas. Kemudian, entah bagaimana, nama Rena muncul. Awalnya hanya bisikan, lalu semakin kuat. Rena. Singkat, sederhana, namun terasa begitu tepat.
Nama itu terasa seperti pantulan dirinya yang ingin ia lihat di cermin. Ada keanggunan di dalamnya, juga sedikit melankolis. Rangga mencoba mengucapkan nama itu berkali-kali di dalam hati saat ia berdandan di depan cermin. Rena, bisiknya pelan, dan setiap kali ia mengucapkannya, ada perasaan getar yang menjalar di hatinya.
Itu bukan sekadar nama, itu adalah kunci. Kunci menuju kebebasan, kunci menuju penerimaan dirinya.
Nama Rena memberinya kekuatan yang luar biasa. Sebagai Rangga, ia harus terus-menerus mengenakan topeng, menjadi seseorang yang diharapkan masyarakat. Beban itu berat, menyesakkan. Tapi sebagai Rena, ia bisa bernapas.
Nama Rena adalah perisainya, identitas yang melindunginya dari ekspektasi dunia luar. Ketika ia menjadi Rena, ia tidak lagi peduli dengan apa kata orang tentang lelaki sejati. Ia hanya peduli pada perasaan utuh yang ia rasakan.
Nama itu adalah simbol kemerdekaannya, pengakuan atas siapa dirinya di lubuk hati. Ini adalah identitas yang benar-benar berbeda dari Rangga. Rangga adalah kewajiban, masa lalu, dan tekanan. Rena adalah kebebasan, masa depan, dan keutuhan.
Dengan nama itu sebagai pijakan, eksplorasi diri Rangga menjadi Rena semakin dalam dan terarah. Kamar kos yang sempit itu menjadi studio pribadinya, tempat ia menghabiskan berjam-jam di depan cermin, belajar dan bereksperimen.
Ia mengamati detail-detail kecil yang selama ini hanya ia sadari pada wanita lain bagaimana mereka menyapukan blush on, bagaimana mereka melentikkan bulu mata, atau bagaimana mereka membentuk alis. Rangga belajar dari video-video tutorial di internet, meniru gerakan tangan penata rias, mencoba berbagai teknik.