Setelah berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan berkomunikasi intens di dunia maya, saatnya tiba. Niko mengusulkan pertemuan fisik.
Jantung Rangga berdebar tak karuan membaca pesan itu. Di satu sisi, ia sangat excited. Inilah kesempatan Rena untuk keluar dari kamar kos, untuk dilihat dan diterima secara langsung. Di sisi lain, kecemasan melandanya begitu hebat.
Bagaimana jika Niko tidak menyukai penampilan Rena secara langsung? Bagaimana jika semua pujian dan penerimaan itu hanya berlaku di balik layar? Bagaimana jika Rangga yang kini jauh lebih feminin tidak cukup perempuan bagi Niko?
Niko mengusulkan sebuah kafe kecil di Jakarta Selatan, yang katanya cukup tenang dan privat.
Hari yang ditentukan tiba, dan Rangga menghabiskan waktu berjam-jam mempersiapkan diri. Ia memilih gaun yang paling ia sukai, gaun panjang dengan motif bunga kecil yang lembut.
Ia memakai wig hitam panjangnya, merias wajahnya dengan sangat teliti, berusaha menutupi setiap garis maskulin yang tersisa. Setiap sapuan kuas blush on, setiap garis eyeliner, adalah doa agar Rena bisa tampil sempurna.
Aroma parfum Erika yang dulu ia sukai, kini ia kombinasikan dengan parfum wanita pilihannya, menyelimutinya dengan wangi yang lembut.
Perjalanan ke kafe terasa seperti berjalan di atas tali tipis. Meskipun ia pergi menggunakan taksi online, setiap tatapan dari pengemudi atau pejalan kaki di jalan raya terasa seperti sorot lampu panggung yang menusuk.
Ia merasakan kecemasan yang luar biasa. Ia menyentuh tas kecilnya, di dalamnya ada dompet Rangga dan identitas aslinya. Sebuah pengingat akan dua dunia yang ia jalani.
Setibanya di kafe, ia melihat Niko duduk di salah satu meja pojok. Pria itu tampak persis seperti di fotonya: ramah, dengan senyum tipis yang menenangkan.
Saat mata mereka bertemu, Niko tersenyum hangat dan melambaikan tangan. Saat itulah, kelegaan luar biasa membanjiri Rangga. Niko tidak terkejut, tidak jijik, tidak ada sedikit pun keraguan di matanya. Ia hanya tersenyum, senyum yang tulus.
"Rena?" sapa Niko pelan saat Rena mendekat. Matanya meneliti Rena dari atas ke bawah, bukan dengan tatapan menghakimi, melainkan dengan kekaguman. "Kamu... lebih cantik dari yang aku bayangkan."
Pujian itu, diucapkan langsung ke wajahnya, meluluhkan semua kecemasan Rangga. Rasanya seperti ada dinding es yang hancur di dalam dirinya.