1
Di dahan pohon mangga, burung hantu bertengger tenang dengan tatapan tajam ke sekeliling. Burung itu mendengkur. Bulu tebalnya bak selimut, melindungi tubuhnya dari angin yang membawa hawa dingin. Malam ini memang cukup dingin juga menyebalkan.
Lebih menyebalkan lagi, tatkala koak gagak terus menggema di sepanjang daerah pemakaman umum. Gagak itu terbang mengitari pemakaman, seakan-akan pemakaman itu adalah wilayah kekuasannya. Atau mungkin, gagak itu hanya sekadar hendak mencari mangsa untuk santapan malam ini.
Tidak hanya burung hantu dan gagak, para binatang malam seperti jangkrik dan kodok ikut serta bernyanyi guna memecah keheningan malam. Malam ini memang sungguh menyebalkan. Sorot lampu yang menerangi pemakaman sudah mulai redup, rumput-rumput liar dibuat menari oleh angin, dan beberapa nisan meretak dimakan waktu.
Malam ini pemakaman memang terlihat mencekam, namun, sepasang remaja malah datang mendekat. Mereka bergandengan tangan, menerobos belukar, dan menerangi jalan dengan senter. Oh, apa yang dipikirkan sepasang kekasih itu? dan apa yang hendak mereka lakukan berduaan di tanah kuburan yang sunyi dan menakutkan?
Perihal itu pun mulai mendapat jawaban, setelah si perempuan mengajukan sebuah pertanyaan. “Kita mau ke mana, Mal? Bukankah malam ini kita hendak berkencan?” demikian tanya si perempuan dengan getir. Tampaknya, kegelapan telah merangsang bulu kuduknya untuk berdiri.
Kumal tidak langsung menjawab pertanyaan kekasihnya itu, pemakaman umum sudah kian dekat, ia ingin menjawab pertanyaan kekasihnya di tempat itu. Ia menarik tangan kekasihnya, lantas berjalan lebih tergesa-gesa. Sesampai di deretan kuburan, Kumal pun memberikan jawaban yang sempat tertunda. “Ya, kita memang sedang berkencan.”
“Apa maksudmu kita sedang berkencan? Bukankah ini kuburan.”
Perempuan itu kian bergidik ngeri, deretan kuburan dengan sorot lampu remang-remang, nyaris membuat ia hendak kencing di celana. Ia ingin lari dari tempat itu. Namun, ia masih ingin mendengar balasan Kumal, lelaki yang ia incar selama ini, dan sekarang telah menjadi kekasihnya.
“Ya, ini memang kuburan, dan kita akan berkencan di kuburan,” balas Kumal begitu dingin.
Perempuan itu seperti sudah dipermainkan. Perempuan mana yang mau diajak kencan di tanah kuburan, meski laki-laki itu pun sangat ia sukai. Mustahil. Tidak ada satu pun perempuan di muka bumi ini yang mau diperlakukan demikian. Begitu pula dengan perempuan itu, dadanya terasa sesak, dan aroma cinta dalam dirinya telah menjelma menjadi benci.
Lantaran tidak kuasa membendung sakit karena dipermainkan, perempuan itu pun melayangkan tamparan ke pipi Kumal. “Buaya edan! Kukira kamu adalah lelaki romantis, ternyata kamu hanya pecundang dengan obsesi aneh.” Perempuan itu pun berlalu dari hadapannya.
Kumal tengah mengelus-elus pipinya kala perempuan itu pergi, tamparan itu cukup keras, dan hal itu terlihat amat menyakitkan. Ditampar dan ditinggal pergi, perihal itu sungguh menyebalkan. Namun siapa kira, memang itulah yang diinginkan oleh lelaki itu. Bila diingat-ingat lagi, perempuan barusan adalah perempuan kedua puluh dua yang telah Kumal ajak kencan ke pemakaman umum. Dan seperti yang kalian duga, dua puluh dua kali pula Kumal ditampar dan dicampakkan.
Ah, Kumal tidak benar-benar suka pada perempuan itu. sebab, ia hanya mencintai perempuan yang dapat ia ajak kencan di tanah kuburan. Entahlah, mengapa ia memiliki ambisi aneh seperti itu? tiada yang tahu, kecuali Kumal itu sendiri.
Dan sekarang—karena ambisi konyolnya itu—Kumal berdiri seorang diri di tanah kuburan ini. Ia memandang ke sekeliling dengan mata sendu, bunga kamboja bergoyang, tikus sesekali melintas, koak gagak terus menggema, dan terkadang angin menyerupai tentakel meraba tubuhnya dengan halus.
Ada banyak kenangan di pemakaman umum ini, mungkin lantaran itu pula Kumal memilih kontrakan tidak jauh dari pemakaman. Meski bulan sesekali ditelan awan hitam, ia masih melihat jelas bayangan anak kecil berlari di antara nisan-nisan. Ia tersenyum, potret kanak-kanak telah bergentayangan di kepalanya.
Kumal ingin kembali ke masa itu, masa di mana ia menganggap kuburan sebagai rumah. “Kita semua akan mati, Nak, dan kuburan adalah rumah terakhir kita,” kata-kata itu kembali terngiang, membuatnya tidak kuasa membendung air mata. Lekas-lekas ia menyeka air mata itu, sebelum jatuh dan sebelum ada orang yang melihatnya. Seperti yang dikatakan orang itu di masa lalu, pantang bagi lelaki untuk menangis!