Perempuan dan kuburan

Aljas Sahni H
Chapter #3

Tiga #3

3

Namanya G. Kumal Aksara dan dia bukan pecundang!

***

Sedari kecil Kumal tinggal berdua bersama bapak—Anggi Kusuma—di pemakaman umum. Sejauh ingatan Kumal, pemakaman umum itu memang rumah mereka. Kumal tidak tahu sebelum ini bapak tinggal dan memiliki rumah di mana. 

Mereka tinggal di bangunan kecil tempat keranda, yang berada tepat di sudut pemakaman umum. Di dalam bangunan kecil, terdapat dapur dan satu kamar. Sedang kamar mandi berada di luar rumah. Pemakaman telah menyediakan semua yang mereka butuhkan, dan di sana pula anak dan bapak hidup bahagia.  

Sebagai bapak, Anggi Kusuma bekerja keras untuk sang anak. Selain menjadi penjaga kuburan, ia juga bekerja sebagai penggali kuburan. Tidak banyak uang yang ia dapat, namun, sudah cukup memenuhi kebutuhan yang sederhana. Demi sang anak, banting tulang, banting cangkul, bahkan dibanting pun Anggi Kusuma rela. 

“kita semua akan mati, Nak, dan kuburan adalah rumah terakhir kita, hoho. Maka dari itu, Nak, hoho bersenanglah kamu karena kita sudah tinggal di rumah terakhir, hoho. Jadi kita tak perlu takut, hoho. Karena kita sudah terbiasa, hoho.” Begitulah yang diucapkan Anggi Kusuma pada sang anak, saban malam ketika Kumal ketakutan karena dikelilingi oleh deretan kuburan. 

Anggi Kusuma juga biasa berbicara dengan tawa beratnya yang khas. Perihal itu membuat sosok Anggi Kusuma menjadi lucu. Banyak orang-orang menyukai cara ia bertutur juga bertingkah. Kumal pun kadang-kadang meniru caranya berbicara. Ia akan selalu tertawa, meski ia sendiri tidak ingin tertawa. 

Anggi Kusuma menegaskan dan mengajarkan pada sang anak untuk menjadi anak yang tangguh, pantang menangis, selalu bersikap lembut pada perempuan, dan jangan pernah menjadi pecundang. Ajaran ketiga memang cukup aneh, ‘selalu bersikap lembut pada perempuan’. Mungkin karena bapak sangat mencintai ibu. Mungkin karena cintanya itu ia tidak berniat untuk menikah lagi setelah sekian lama ibu meninggal. Hoho, bapak memang bukan pecundang. 

Namun, butuh waktu untuk Kumal guna mengerti ajaran-ajaran bapak. Kumal kecil masih kerap ketakutan juga sering menangis. Serupa waktu itu, bagi Kumal, malam seakan-akan adalah sisi lain dari neraka dan kuburan bagai bayangan gelap yang mengintai di mana-mana. 

Malam itu, Kumal kecil dipaksa jatuh dari mimpinya hanya lantaran desakan alam. Ia terbangun meski sebenarnya ia masih ingin melanjutkan mimpinya. Ia menarik-narik celana bapak, memaksa Anggi Kusuma untuk segera bangun. Kala bapak membuka mata, ia pun menunjukkan raut memelas dengan mata berbinar-binar, “Pak..., Kumal ingin pipis.” Ia mencengkeram bagian depan celananya, tanda bahwa ia sudah tidak dapat menahan lebih lama lagi. 

Lihat selengkapnya