Brak!
Bille melempar selimut dan melompat tergesa dari tempat tidur ketika mendengar erangan separuh berteriak dari kamar ayahnya. Dengan tergesa ia beranjak menuju kamar sang ayah yang berjarak beberapa meter dari kamarnya sendiri. Tetapi seperti kebiasaan Bensan, pintu terkunci dari dalam. Bille menggedor pintu berharap ayahnya terjaga, tetapi erangannya semakin menguat.
Tidak ingin sesak nafas yang sering menghantui ayahnya setiap kali mimpi buruk menyambangi, Bille mendobrak pintu. Untuk kesekian kalinya pintu itu terhempas ke dinding, berdebam keras dengan salah satu engselnya terlepas. Kayu tipis itu mengayun sedih ketika Bille merangsek masuk dan berlutut di sisi tempat tidur Bensan.
“Ayah?” panggilnya tergesa, sekalipun telah terbiasa dengan mimpi buruk Bensan yang selalu membuatnya merasa sesak atau bahkan berteriak dan menangis dalam tidurnya, Bille selalu merasa takut setiap kali itu terjadi.
Keringat membasahi kepala dan dada Bensan, ia menggeleng dan setengah sesenggukan dalam tidurnya yang seolah sedang menyiksa pria 60 tahun itu. Bille menyeka keringat sang ayah dengan handuk kecil yang selalu ia sediakan di nakas, sesekali memanggil ayahnya pelan agar ia bisa terbangun dari mimpi buruknya.
“Hentikan!”
Bille terjengkang ketika sang ayah tiba-tiba bangun dengan mengibaskan kedua tangan tuanya yang masih terasa kokoh di usia yang lebih dari separuh abad.
“Akh!” tanpa sadar Bille berteriak ketika kepalanya membentur lantai dingin. Bensan menoleh dan menatap putranya bingung sekaligus menyesal. Tangannya terulur ketika Bille berusaha bangkit.
Pemuda itu tersenyum dan meraih tangan tua ayahnya, duduk di samping Bensan seraya kembali mengelap keringat sang ayah. Mengusap lembut punggung Bensan agar ia lebih tenang. Setelah sang ayah terlihat lebih tenang dan nafasnya kembali teratur, Bille bangkit untuk mengambil baju ganti.
“Ganti dulu Yah,” pintanya lembut, Bensan menurut ketika Bille melepaskan kaos tidurnya dan memasangkan baju yang baru. Pun begitu ketika putra semata wayangnya itu merebahkan perlahan tubuh tua Bensan yang semakin melemah.
Bille menatap wajah ayahnya yang masih terlihat pucat dengan beberapa keringat terus menetes dari sisi kepalanya. ‘Sepertinya mimpi buruk ayah semakin parah,’ pikirnya dalam hati.
Ia lalu bangkit untuk mengambil air minum Bensan, tetapi sang ayah menolak untuk minum. Pria itu menyingkirkan gelas dengan perlahan dan memalingkan wajah, Bille mengalah dan mengangguk.
“Baiklah, tapi Ayah bisa mencoba tidur kembali?” pintanya.
Untuk sesaat Bensan terlihat keberatan tapi tak urung ia memejamkan mata. “Seluruh mimpi buruk itu membuat Ayah takut untuk memejamkan mata,” lirihnya.
Bille mengusap keringat yang masih membasahi dahi tua Bensan. “Tapi kita butuh tidur,” ujar Bille pelan. “Tidurlah, aku akan disini menemani Ayah,” sambungnya.
Sejenak Bensan mengerling putranya, mengerutkan bibir menyiratkan dia menolak untuk kembali tidur. Tapi kemudian ia memejamkan mata dan perlahan nafasnya mulai teratur menandakan pria itu sudah kembali tertidur. Bille menghela nafas panjang, menatap ayahnya dengan senyum kelu. Ia memperbaiki posisi bantal dan selimut sang ayah sebelum kembali ke kamarnya.
Menghela nafas ketika melewati pintu, menatap daun pintu yang miring karena salah satu engselnya tercabut. Setidaknya dengan begitu, ia tak perlu khawatir ayahnya akan mengunci lagi pintu kamarnya dari dalam. Sejenak Bille berpikir bahwa mungkin sebaiknya ia tidak lagi memperbaiki pintu itu.
“Atau copot aja kali ya sekalian,” gumamnya seraya menatap daun pintu mengenaskan itu sebelum beranjak ke kamar.
Kembali sendiri, Bille menarik buku catatan tebal miliknya dari rak. Buku berukuran standar tapi dengan ketebalan melebihi buku biasa. Sampulnya terbuat dari kertas berwarna coklat dengan gambar yang didesain sendiri oleh Bille. Membuka lembar terakhir yang ia tulis malam kemarin. Pemuda itu melirik jam di atas nakas, menghela nafas ketika menyadari sudah menjelang dini hari dan rasanya tanggung untuk melanjutkan tidurnya.
‘Mimpi buruk Ayah semakin parah,’ pikirnya sembari mencatat durasi mimpi buruk ayahnya malam ini. Ia juga menandai gejala yang menyertai mimpi buruk itu agar bisa menemukan cara menghentikannya. Selama bertahun-tahun Bille mencatat tapi ia belum bisa menghentikan mimpi buruk Bensan. Alih-alih menghentikan atau mengurangi, mimpi buruk sang ayah justru semakin parah.
Dulu mimpi buruk itu tidak menghantui setiap hari, tetapi belakangan setiap malam Bensan akan berteriak seperti tengah disiksa dengan sangat kejam dalam tidurnya. Bille lalu membuat semacam peta sederhana di kertas lain yang lebih lebar, memetakan jeda mimpi buruk sang ayah. Mulai dari jam terjadinya mimpi itu hingga durasi berlangsungnya mimpi. Ia tahu ini sama sekali tidak bermanfaat untuk mengurangi mimpi buruk tetapi Bille senang melakukannya karena dengan membuat itu ia merasa bisa menemukan solusinya.
Memikirkan mimpi buruk yang terus menghantui ayahnya tanpa Bille tahu penyebabnya membuat pemuda itu kehilangan rasa kantuk. Karena itu ia memilih menyelesaikan desain dan gambar untuk diserahkan pada klien. Dan paginya setelah menyelesaikan beberapa gambar serta mengedit foto yang hendak ia jual, Bille beranjak menuju dapur. Dimana Bensan duduk merenungi kopi paginya yang masih berasap dengan aroma yang memenuhi ruangan berukuran tiga kali tiga meter itu. Bille meletakkan setangkup roti di piring kecil untuk sang ayah.
“Ayah tidak bisa sarapan hanya dengan kopi,” sahutnya ketika melihat ekspresi protes sang ayah. Bensan tertawa kecil melihat ekspresi anaknya saat mengomel mengingatkannya pada sang istri.
“Tapi Ayah sudah terbiasa seperti ini,” sahut Bensan. “Jangan katakan kalau Ayah sudah tua dan tubuh Ayah tidak sesehat dulu. Ayah tahu itu,” sambungnya seraya bersungut-sungut kecil. Tapi tangannya yang sudah kurus dan keriput itu meraih piring kecil dari tangan Bille.
Sang anak tersenyum senang ketika ayahnya sedikit demi sedikit melahap sarapan diselingi kopi. Ia duduk di hadapan Bensan dengan teh yang masih mengepul dan sepotong ubi bakar.