Perempuan Dari Masa Lalu

Aslan Rakhan
Chapter #3

Kampung Halaman

Bensan menghirup udara Tanjung Redep begitu mereka turun dari pesawat kecil yang membawa mereka dari Balik Papan. Mendung yang menggayuti langit Tanjung Redep membuat udara terasa lebih sejuk. Sepuluh tahun tidak menghirup aroma kampung tanah kelahirannya membuat mata Bensan berkaca-kaca. Bille menarik tangan ayahnya agar mereka bergegas karena gerimis mulai turun.

“Kita makan dulu sebelum melanjutkan perjalanan, Yah,” ujarnya pelan.

“Ayah tidak lapar,” sahut Bensan. “Kita tidak bisa langsung pergi saja?”

“Ayah rupanya sudah sangat rindu dengan kampung halaman,” goda Bille, tapi Bensan mengangguk serius.

“Sepuluh tahun Nak,” gumamnya pelan. “Sepuluh tahun kita meninggalkan kampung, tentu saja Ayah rindu.”

Bille tersenyum dan memeluk punggung ayahnya, “baiklah. Kalau begitu Ayah bisa menunggu disini sebentar?” pintanya ketika mereka sudah keluar dari gedung bandara. Beberapa orang melambai pada mereka menawarkan kendaraan.

“Itu ada beberapa orang, kita bisa meminta mereka mengantar sampai Gunung Sari?” harap Bensan.

“Ayah tidak perlu khawatir, tunggulah sebentar disini,” jawab Bille. Ia sudah menyewa kendaraan selama beberapa hari untuk mempermudah perjalanan mereka. “Dia akan datang sebentar lagi.”

Bensan memandangnya heran, “kau mengenal seseorang disini?” herannya.

“Ayah lupa, aku tumbuh disini sampai usia 15 tahun. Tentu saja ada seseorang yang kukenal,” jawab Bille. “Kebetulan dia bekerja disini dan bisa mengantar kita kemana saja. Nah itu dia datang.”

Bensan bangkit ketika Bille menarik koper kecil mereka menuju sebuah mobil double cabin. Seorang pria muda turun dari kendaraan itu dan tersenyum riang pada Bille. Keduanya berpelukan untuk beberapa saat sebelum pria muda itu menoleh dengan tatapan hangat pada Bensan.

“Amma*,” ucapnya riang seraya memeluk Bensan. Mata pria itu berkaca-kaca menerima pelukan hangat tersebut. Dia yang dulu nyaris tidak pernah berbaur dan lebih banyak mengacau, sedikit merasa berdosa menerima pelukan hangat itu. Dalam hati ia juga merasa heran bagaimana putranya memiliki teman di Tanjung Redep. Tempat yang cukup jauh dari kampung mereka. Apalagi dengan status keluarga mereka di masa lalu.

“Bapak pasti lupa pada saya,” kekehnya seraya menarik Bensan untuk naik ke kendaraan. Pria itu hanya bisa menyeringai mendengar ucapan itu. Tentu saja dia tidak ingat siapa pria muda ini, karena sejak dulu Bensan termasuk orang yang sangat jarang berada di rumah.

Dia bahkan tidak mengenal satupun teman putranya sejak kecil karena lebih banyak berada di hutan untuk merampok. Setelah menyerahkan hasil rampokan biasanya Bensan kembali ke persembunyian teman-temannya. Tempat yang biasa mereka sebut sebagai markas. Ia jarang berada di rumah bukan saja karena menghindari aparat atau penduduk yang marah tetapi juga menghindari istrinya yang selalu mengomel. Wanita berparas ayu yang ia nikahi itu, marah besar ketika mengetahui bahwa Bensan bekerja sebagai perampok.

Pekerjaan yang diketahuinya setelah pernikahan mereka berjalan selama tiga tahun. Semula ia berpikir Bensan adalah pekerja tambang, karena itu ia sangat membenci Daryuna yang bekerja sebagai manajer perusahaan tambang. Karena itu ia tak pernah protes jika Bensan jarang pulang, atau datang di tengah malam. Tetapi sejak mengetahui Bensan adalah perampok, wanita itu lebih banyak diam. Ia memilih bekerja di perkebunan sawit untuk membiayai hidupnya dan anak mereka. Uang yang diberikan Bensan selalu ia simpan dalam sebuah tong kecil yang ikat di dekat tungku.

“Kalau kau nanti di penjara atau ada yang meminta ganti barang yang kalian ambil, aku akan membayarnya dengan itu.”

Kata-kata itu yang selalu diucapkan istrinya pada Bensan setiap kali pria itu berkata bahwa seharusnya ia menggunakan uang itu untuk keperluan Bille putra mereka. Bensan saat itu selalu kesal karena istrinya menolak uang darinya dan memilih bekerja keras di kebun sawit. Bahkan sesekali ia mencari kayu bakar di hutan untuk dijual.

Air mata Bensan menggenang mengingat semua itu, ia mengerjab beberapa kali untuk menahan genangan itu menjadi bulir dan menggelinding pelan di pipi keriputnya.

“Bapak begitu terharu kembali ke sini setelah sepuluh tahun?” tanya pria muda di sampingnya, rupanya ia memperhatikan Bensan sejak mereka memulai perjalanan. Tidak menyadari bahwa pria di sampingnya tersebut tengah menyesali perbuatannya di masa lalu.

“Kau tidak mengenalku?” tanya Bensan tiba-tiba, Bille yang paham arah pertanyaan ayahnya mengeluh dalam hati.

“Tentu saja saya mengenali Bapak,” jawab pria muda itu. “Sepertinya Bapak yang tidak mengenal saya,” sambungnya dengan tawa kecil.

“Ayah tidak ingat? Dia Ikram putra Paman Is tetangga sebelah rumah kita dulu,” sahut Bille.

Yah, tentu saja Bensan tidak akan mengenalnya. Mungkin bisa dihitung dengan jari ia berapa kali ia bertemu anak itu dulunya.

“Apa kabar ayahmu?” tanya Bensan, sekedar basa basi padanya.

“Ayah meninggal tidak lama setelah kalian pindah. Kami lalu pindah ke Tanjung Redep tidak lama setelah Ayah meninggal. Ibu bekerja di sini,” jawabnya.

“Selama ini kami berteman melalui media sosial setelah bertemu saat kuliah,” sambung Bille.

“Entahlah, Ayah tidak mengerti,” sahut Bensan.

Lihat selengkapnya