Tidak mudah menempuh perjalanan dalam gelap di jalan berlumpur yang licin. Bille menghubungi Ikram dalam perjalanan pulang untuk memberitahunya bahwa ia sudah menemukan Bensan. Meminta agar Ikram menunggu mereka di rumah.
Berkali-kali Bensan terhuyung dan ikut membawa Bille terayun karenanya. Oleh sebab itu Bille lalu mencari sebuah ranting yang cukup besar dan kuat untuk menahan tubuh mereka berdua. Bermodalkan kayu itu ia membimbing ayahnya berjalan pulang, sesekali tertawa mendengarkan Bensan bercerita tentang segala hal yang ia ingat dan mungkin yang paling berkesan baginya.
Dalam hati berharap, sekalipun mereka tidak mendapatkan informasi tentang putri Daryuna setidaknya kedatangan mereka ke kampung ini bisa membuat Bensan sedikit lebih tenang. ‘Semoga saja mimpi buruk itu tidak menyambangi Ayah malam ini,’ harapnya dalam hati.
“Kalian baik-baik saja?” sambut Ikram begitu keduanya memasuki halaman rumah. Sepertinya sejak tadi berdiri di teras menunggu mereka dengan cemas.
“Tidak apa-apa,” sahut Bille seraya melepaskan jaketnya dari puncak kepala Bensan. Mengibaskannya dan menggantung jaket itu di paku yang ada dekat pintu masuk.
Lalu menggiring ayahnya untuk membersihkan kaki mereka yang penuh lumpur di keran kecil dekat tangga. Ikram menggeleng sembari menahan tawa melihat keduanya seperti habis berkubang lumpur. Dalam hati bersyukur mereka tidak menggelinding di jalan. Setelah membersihkan diri, Bille mengikuti langkah Ikram dan ayahnya masuk.
“Bapak pergi kemana?” tanya Ikram, ia bergegas menuju dapur untuk membuat air hangat bagi Bensan sementara Bille menggiring ayahnya ke kamar untuk mengganti pakaian yang basah dan tentu saja kotor.
“Beliau mendatangi rumah kami yang lama,” sahut Bille.
Ikram menoleh sejenak, tangannya yang memegang ceret tergantung canggung di udara. Beruntung Bille maupun Bensan tidak melihat perubahan yang terjadi pada wajahnya saat mendengar jawaban Bille.
Di kamar, Bille mengambil pakaian Bensan dari koper dan meminta sang ayah mengganti pakaian sementara ia mendatangi Ikram di dapur. “Akan kuambilkan Ayah segelas air hangat, agar Ayah tidak terlalu kedinginan,” ujarnya seraya melangkah keluar.
“Cobalah untuk tidur malam ini, Ayah,” harapnya kemudian.
Bensan menatap punggung anaknya yang menjauh dari pintu kamar. “Entahlah,” gumamnya sendirian.
Bille mengambil sebuah gelas dari rak piring kayu di sudut dapur. Mengucapkan terima kasih pada Ikram yang menuang air dari ceret ke dalam gelas. Menatap punggung Bille yang kembali ke kamar untuk memberikan air pada ayahnya.
“Minumlah air hangat ini Yah. Setelah itu kumohon Ayah bisa tidur, kita harus istirahat agar besok bisa memulai pencarian,” bujuknya.
Bensan menuruti permintaan itu dengan tanpa suara. Menghabiskan isi gelas dalam satu tegukan, memberikan kembali gelasnya pada Bille dan merebahkan tubuh di atas tempat tidur yang memberitahunya bahwa kamar ini sudah sangat lama tidak ditempati.
“Kau dan Ikram juga tidurlah,” ujar Bensan sebelum memejamkan mata. “Dan kunci kamarnya.”
Bille hanya mengatakan iya dalam helaan nafas yang sedikit terasa sesak. Tapi ketika ia keluar dari kamar, pemuda itu mengambil kunci dan pura-pura mengunci pintu agar ia bisa memantau ayahnya. Khawatir mimpi buruk Bensan masih menyambanginya malam ini. Lalu bergabung dengan Ikram yang menghirup kopinya di ruang tamu. Pria muda itu menoleh ketika Bille duduk di sisinya.
“Rumah itu...,” ujar Ikram ragu-ragu.
“Ya, seseorang mendirikan rumah lain di atas reruntuhan rumah lama kami,” sahut Bille.
“Ayahmu pasti kecewa melihat itu,” ujar Ikram kemudian.
“Kecewa. Tetapi, itu bukan hal yang baru bukan? Tanah yang telah ditinggalkan bertahun-tahun tanpa tuan akan menemukan tuan yang baru,” sahut Bille pelan.
“Kau tidak ingin tahu siapa yang membuat rumah disana?” tanya Ikram.
Bille menoleh dengan tawa kecil. “Siapapun itu, apa yang bisa kulakukan? Haruskah aku merubuhkan rumahnya?”
Ikram turut tertawa tertahan, menghembuskan nafas sebelum bicara. “Tapi sebaiknya kau bicara pada mereka. Toh kalian tidak akan menetap di kampung ini lagi, mungkin bisa membuat kesepakatan jual beli?”
“Wah? Idemu boleh juga,” kekeh Bille. “Tapi, mencari putri Daryuna lebih penting bagiku sekarang. Ayah sudah sangat tersiksa karena mimpi buruknya.”
“Kurasa tidak banyak yang mengetahui tentang dia di kampung ini,” ujar Ikram. “Kau dengar tadi bukan? Mereka bahkan hampir melupakan tentang peristiwa itu.”
“Yah, aku mengerti itu. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan permintaan Ayah.”
Hening beberapa saat.
“Kembali ke sini, sejujurnya aku sama sekali tidak berharap bisa menemukan petunjuk,” ujar Bille kemudian. “Aku hanya berpikir dengan kembali ke kampung halamannya, Ayah mungkin bisa sedikit mengurangi kerinduan yang telah ia pendam cukup lama. Dan juga, mungkin dengan datang kesini Ayah bisa bertemu orang-orang yang dulu ia kenal. Aku hanya berharap itu bisa mengurangi kegelisahannya.”
“Tapi, beliau sepertinya tidak berpikir begitu,” sahut Ikram. Ia menyadari Bensan yang menghindari penduduk saat mereka berbincang setelah makan malam tadi.