Mengambil kembali botol minumnya dari tangan tua Bensan, pria muda itu tersenyum kecil. Ia sama sekali tidak menyembunyikan kenyataan bahwa ia menganggap Bensan terganggu secara kejiwaan. Menatapnya dari kaki hingga kepala, menatap kakinya yang kumal karena hanya mengenakan sandal jepit untuk berjalan diantara duri lapuk pohon sawit. Beberapa luka kecil menggores kaki Bensan, tapi ia bersikap seolah tidak merasakan apapun.
“Bapak mau melanjutkan perjalanan?” tanyanya setelah puas memandangi pria tua di hadapannya.
Bensan menatap perkebunan yang seakan tiada ujung itu, menghela nafas. “Kau bilang semua hutan sudah dibabat bukan?” tanyanya kemudian. Pria di hadapannya mengangguk.
“Benar, semua hutan sudah diganti dengan sawit,” sahutnya pelan, menatap Bensan dengan prihatin. “Bapak ingin pergi kemana?”
“Aku mencari seseorang,” jawab Bensan dengan tatapan kosong. Jika hutan yang tersimpan dalam ingatannya sudah dibabat, apa itu berarti ia tidak akan pernah menemukan gadis kecil tersebut?
Desa kecil di perbatasan hutan yang ia ingat sepertinya telah tidak ada. “Dulu ada desa kecil disini...,” ujar Bensan setengah ragu. “Entahlah, mungkin di sekitar sini,” sambungnya.
“Ah, maksud Bapak dusun? Ya, dulu memang ada dusun kecil disini. Warganya dipindahkan karena tanahnya dibeli oleh perusahaan.”
“Dipindahkan? Kemana?”
“Beberapa ke kampung Gunung Sari, tapi sebagian pergi keluar dari pulau ini.”
Desa kecil itu sudah tidak ada, Bensan jadi semakin gamang. Cemas jika ia benar-benar tidak bisa menemukan petunjuk tentang gadis kecil itu. Ia benar-benar kehilangan petunjuk sekarang, jika orang-orang desa telah dipindahkan maka ia tidak memiliki kesempatan lagi untuk bisa mencari tahu.
“Bapak mencari siapa? Anak atau istri, atau kenalan?” tanya pria muda itu.
“Ah, hanya kenalan. Itupun aku bertemu dia terakhir kali lima belas tahun yang lalu,” jawab Bensan dengan suara setengah merenung.
“Wah, mungkin saja beliau sudah meninggal,” sahut si pria muda.
“Entahlah, kuharap dia masih hidup dengan baik di suatu tempat,” sahut Bensan pelan.
“Sebaiknya Bapak pulang,” saran pria muda. “Dusun yang Bapak cari sudah lama musnah.”
Bensan mengangguk bingung, “ya, kau benar,” sahutnya dengan tingkah penuh kebingungan. “Terima kasih.”
Pria muda itu menggeleng, menatap Bensan yang menyeret langkah menjauh darinya. “Kasihan,” gumamnya sendiri. “Dia mungkin mencari anak atau istrinya?”
Menggeleng sendiri, ia melanjutkan pekerjaan setelah Bensan berjalan cukup jauh darinya.
Sementara itu, Bensan berjalan kembali menyusuri jejak saat ia datang dan berhasil keluar dari perkebunan dengan tubuh berlumur lumpur dan kaki penuh luka. Karena tidak mengenali medan, berkali-kali ia terjatuh karena tiba-tiba menginjak tanah yang berlubang atau berlekuk kecil. Keluar dari perkebunan, pria setengah baya itu kehilangan salah satu sandalnya tapi Bensan tak peduli. Ia terus berjalan menyusuri sisi luar perkebunan, berharap ia bertemu seseorang yang ia kenal.
Tapi hingga matahari mulai tinggi, ia tak bertemu orang yang benar-benar tersimpan rapat dalam ingatannya. Sepanjang jalan, ia hanya bertemu orang yang menatapnya aneh dan tatapan kasihan. Beberapa bocah malah meneriakinya orang gila ketika Bensan menyeret langkah melewati mereka.
“Bapak!” seseorang berteriak, tapi Bensan berjalan lurus karena merasa panggilan itu bukanlah untuknya. Sampai seseorang menepuk bahu dan menarik tangannya.
“Bapak dari mana?” Ikram mencekal bahu Bensan, terlihat sangat khawatir. “Bille mencari Bapak sejak subuh sampai ke ujung desa. Berpikir Bapak kembali ke rumah itu,” jelasnya.
“A...?” Bensan menatap Ikram bingung.
“Ayo pulang, Bille sangat khawatir,” sahut Ikram. Menuntun Bensan seraya mencekal bahunya untuk memastikan pria itu tidak akan menjauh darinya.
Bille ternganga ketika melihat Ikram menuntun ayahnya memasuki halaman, dari ujung jalan ia berlari mendekat. “Ayah?” desisnya tak percaya.
Bagaimana tidak, ayahnya terlihat seperti orang yang baru saja tercebur ke dalam lumpur. Seluruh tubuhnya berlumur lumpur dan sandal hilang sebelah. Bensan meringis melihat tatapan putranya.
“Ayah dari mana saja?” tanya Bille seraya menuntun Bensan ke tong air yang ada di luar rumah. Mencuci tubuh ringkih Bensan sebisanya agar lumpur tak terlalu pekat di pakaian. Lalu membawanya ke kamar mandi.
“Ayah mencari dusun yang ada di perbatasan,” ujar Bensan ketika Bille melucuti pakaiannya sebelum memandikan sang ayah. “Keluarlah, Ayah bisa melakukannya sendiri,” ujar Bensan ketika pakaian bagian atasnya terlepas.
“Tapi, Yah.”
“Keluar, Ayah bisa sendiri!” tegasnya dengan nada jengkel. “Kau pikir ayahmu berlumur lumpur begini karena sudah tidak waras?” omel Bensan, membuat Bille mau tidak mau menyeringai dengan sedikit rasa bersalah.
Sejujurnya saat melihat Ikram menuntun sang ayah yang penuh lumpur, Bille sempat meragukan kewarasan Bensan. Ia pikir kedatangan mereka ke kampung ini telah merenggut kewarasan ayahnya.
“Keluar sana, kenapa masih disitu?” bentak Bensan lagi. Bille mengangguk dengan masih menyeringai dan keluar.
“Kalau Ayah butuh sesuatu, panggil saja. Handuknya kuletakkan di luar kamar mandi ya,” ujar Bille pelan. Menarik mundur kepalanya ketika pintu kamar mandi berdebam dan hampir menabrak hidungnya yang runcing.
Mendecih ketika mendengar suara terkikik di belakangnya, melotot kejam sebentar pada Ikram yang tertawa di balik punggungnya.