Siang itu, Ikram kembali ke Tanjung Redep karena tidak bisa meninggalkan istri dan pekerjaannya terlalu lama. Dengan berat hati dan sedikit khawatir, ia meninggalkan Bille dan Bensan.
“Tidak apa-apa,” sahut Bille setelah kesekian kalinya ia menyatakan kekhawatiran. “Aku bisa menjaga Ayah seperti biasa. Percayalah, aku sudah melakukannya beberapa tahun terakhir.”
Menghela napas panjang, Ikram menatap Bensan sebentar. “Baiklah, tapi kabari aku jika terjadi sesuatu,” ucapnya kemudian. “Dan juga ada beberapa orang yang bisa membantumu, aku sudah meminta mereka untuk datang siang ini.”
“Terima kasih banyak Ikram. Bantuanmu sangat besar untuk kami,” ujar Bille seraya menepuk lembut pundak Ikram.
“Kau juga dulu banyak membantuku. Bantuan ini tidaklah seberapa dibanding yang sudah kau lakukan untukku saat kita kuliah,” jawab Ikram.
Tentu saja ia tidak akan melupakan itu, bahwa ia datang ke kota dimana Bensan dan keluarganya bermukim hanya karena ingin bekerja di bengkel mereka. Tapi ketika ia datang, Bille dan ibunya menolak ia bekeja di bengkel. Mereka justru meminta Ikram melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Membiayainya hingga tamat dan Bille selalu membagi apa saja yang ia miliki pada Ikram. Termasuk uang yang ia hasilkan dari pekerjaannya sejak SMA.
Bagaimana ia berjuang, bertahan hidup di kota itu Bille sangat mengetahuinya. Karena itu Ikram merasa sangat bersalah ketika ia harus meninggalkan mereka sekarang.
“Istrimu membutuhkanmu,” ujar Bille. “Sana pulang.”
“Mobil aku tinggalkan disini,” ujar Ikram. “Aku pulang diantar teman,” sambungnya buru-buru sebelum Bille menolak. “Lagipula itu mobil itu aku beli dengan uang yang kau kirimkan saat aku menikah.”
Mau tidak mau Bille mengalah, ia mengangguk dan tersenyum penuh rasa terima kasih atas bantuan itu. “Baiklah.”
Bille kembali ke dalam rumah setelah mobil yang membawa Ikram menghilang di tikungan pertama tak jauh dari rumah.
“Kenapa dia meninggalkan mobilnya di sini?” heran Bensan.
“Dia bilang kita pasti akan membutuhkannya,” jawab Bille.
“Kampung kecil begini untuk apa kendaraan?” sungut Bensan. “Kita bahkan bisa berjalan kaki dalam satu jam mengitari kampung.”
“Tidak masalah Ayah, setidaknya kita membutuhkan kendaraan itu saat membeli bahan makanan bukan?”
“Haah, terserah kau saja. Kau selalu menang,” sungut Bensan.
“Hari ini, kita istirahat? Setidaknya agar kaki Ayah punya waktu untuk pulih,” ujar Bille setengah meminta.
“Entahlah, Ayah malah berpikir kita pulang saja. Karena sepertinya tidak ada yang bisa kita lakukan disini. Orang-orang dari dusun itu sudah dipindahkan, sebagian ke kampung ini tapi sebagian lainnya tidak ada yang tahu mereka pergi kemana. Ayah tidak bisa bertanya pada siapa-siapa,” jawab Bensan.
“Kita bisa bertanya pada orang-orang kampung ini bukan?”
“Kau pikir Ayah tidak mendengar pembicaraan kalian malam kemarin? Mereka bahkan tidak ada yang ingat siapa Ayah.”
“Yah, beberapa dari mereka masih ingat Ayah kok.”
“Humm pasti mereka sangat membenciku bukan?”
“Haah, tidak juga. Ada juga yang berpikir Ayah keren karena yang kalian rampok adalah orang-orang yang memang mereka benci sih.”
“Lalu kau pikir mereka akan menganggap Ayah sebagai Robin Hood?”
Bille terkekeh mendengar kalimat itu, tetapi yang lebih membuatnya tertawa adalah ekspresi ayahnya yang seperti kanak-kanak sedang marah.
“Entahlah, sepertinya memang ada yang menganggap kalian seperti itu,” kekehnya.
“Diam kau!”
Bille seketika membekap bibirnya agar tawa tak lagi menguar dari mulutnya. Bensan memalingkan wajah dari putranya, bukan karena kesal. Tapi karena mata Bille yang sedang tertawa mengingatkannya pada sang istri. Seringkali dalam hati Bensan bersyukur Bille mewarisi wajah ibunya. Perempuan cantik yang entah mengapa bisa terpikat pada pria bajingan sepertinya.
“Hari ini Ayah istirahat dulu ya, ada pekerjaan yang harus kuselesaikan sebelum sore,” sahut Bille kemudian. Ia beranjak ke dalam untuk mengambil laptop, hanya tersenyum kecil ketika ayahnya mengomel.
Sepanjang sisa hari itu, Bensan menghabiskan waktu dengan membaca beberapa buku yang cukup menarik baginya di kamar. Ia menemukan beberapa buku milik Ikram dan tenggelam di dalamnya. Membiarkan Bille menyelesaikan semua pekerjaan dan memasak.
“Besok kita mulai pencarian, menurut Ayah kita bisa memulai dari mana?” tanya Bille ketika mereka menikmati santap malam.
“Entahlah, Ayah sudah mencarinya kemarin dan hari ini. Tapi bahkan dusun itu sudah menghilang, kemana lagi kita bisa mencarinya?”