Mereka berbincang untuk waktu yang cukup lama, hingga melewati tengah malam. Dan itu memberi informasi yang lebih dari cukup bagi Bille untuk memulai pencarian mereka esok hari. Ia berterima kasih ketika mereka pamit, membersihkan beberapa lembar kertas sketsa wajah orang-orang yang menurut para tamunya mungkin akan bisa memberi petunjuk. Bille mengumpulkan kertas-kertas itu dan menjepitnya dalam map agar tidak berserakan saat ia membawanya nanti.
Ia memasuki kamar dimana Bensan tengah tertidur, tersenyum lega karena sang ayah terlihat tenang dalam tidurnya yang lena. Sesuatu yang sangat sulit mereka dapatkan beberapa tahun terakhir. Untuk beberapa saat ia duduk di sisi tempat tidur Bensan, memperhatikan ayahnya yang damai dalam tidurnya. Bersyukur karena setidaknya malam ini ia bisa tidur dengan tenang sekalipun mungkin nanti mimpi buruk itu akan dating lagi.
Bille memilih membentangkan sebuah kasur tipis di lantai dan merebahkan tubuh disana. Berjaga-jaga jika mimpi buruk Bensan kembali menyambangi. Baru saja memejamkan mata, ia merasakan pergerakan dari tempat tidur, Bille kembali membuka mata dan menghela napas karena Bensan hanya menggeliat dalam tidurnya. Perlahan ia menutup matanya lagi dan berusaha untuk tidur.
“Pergilah!”
Teriakan itu cukup keras dan membuat Bille melompat bangun begitu matanya terbuka. Terhuyung dan hampir terjungkal jika saja ia tidak memegang tempat tidur karena langsung bangkit begitu terjaga. Tangan Bensan yang menggapai-gapai menyentuh wajahnya, membuat Bille Kembali fokus.
“Ayah!” panggilnya. Tapi Bensan tak mendengarnya, tangannya tetap menggapai-gapai, berteriak serak dengan napas terengah. Bille mencoba membangunkannya dan itu memakan waktu cukup lama sampai Bensan membuka mata dengan tergesa.
“Ayah tidak apa-apa?” tanya Bille ketika Bensan membuka mata dan menatap lekat manik mata Bille yang pekat.
“Haah, itu kau,” desis Bensan diantara napasnya yang masih terengah. “Kenapa kau ada disini?”
“Ayah berteriak cukup keras,” jawab Bille. “Gadis kecil itu lagi?”
“Ya, dia terus mengejar Ayah,” sahut Bensan terengah.
“Ayah mau keluar sebentar?” Bille menawarkan untuk keluar kamar, berpikir bahwa selama ini ia selalu meminta sang ayah tidur kembali setiap kali ia terjaga dari mimpi buruknya. Mungkin dengan keluar dari kamar, menghirup udara malam yang dingin bisa mengurangi kegelisahan sang ayah.
Bensan mengangguk atas tawaran itu dan beranjak turun dari tempat tidur. Membiarkan putranya menuntun ia sampai mereka berdua berdiri di depan jendela.
“Ayah mau duduk di teras?”
“Tidak, disini saja cukup,” jawab Bensan. Mata tuanya menatap ke dalam kegelapan yang jauh sambil menghela napas panjang.
Angin malam yang menyeruak melalui jendela yang terkuak menerpa wajah tua Bensan. Menimbulkan rasa dingin yang menggigit tapi justru itu membuatnya merasa lebih baik. Bille meninggalkan ayahnya sebentar untuk menyeduh secangkir coklat hangat. Membawa gelas itu bersamaan dengan beberapa sketsa yang ia buat sebelum beranjak tidur dibantu warga.
“Yah, tadi ada beberapa orang datang,” ujarnya seraya memberikan sebuah kursi dan cangkir coklat pada Bensan. Pria setengah baya itu mendongak menatap wajah tampan putranya, heran.
“Siapa?”
“Penduduk sekitar, tadinya mereka ingin bertemu Ayah,” jawab Bille, ia ikut duduk menatap kegelapan di samping sang ayah. “Tapi karena Ayah sudah tidur, mereka tidak ingin mengganggu Ayah.”
“Untuk apa mereka datang?”
“Sekedar berbincang, Ayah. Tentu saja menjadi sebuah kejutan bagi mereka, Ayah pulang setelah bertahun-tahun merantau dan tanpa kabar. Selama ini mereka hanya mendengar kabar tentang Ayah dari selentingan orang-orang yang pernah bertemu kita.”
“Hmm.”
“Ah, mereka memberi kita beberapa petunjuk,” sahut Bille pelan. Bensan melirik lembaran-lembaran kertas di tangannya, penasaran dengan sketsa yang ada disana. “Ini,” lanjut Bille seraya menyerahkan seluruh kertas itu pada ayahnya.
“Apa ini? Siapa mereka?”
“Yang ini,” Bille menarik selembar kertas yang ia letakkan di bagian paling atas. “Prediksi wajah gadis kecil yang ingin Ayah temukan,” sahutnya kemudian.
Bensan menatap kertas di tangan putranya dengan takjub sekaligus tidak percaya. Bibirnya berkedut dan perlahan menyeringai kesal. “Itu kau buat denga napa?” tanyanya penuh nada meragukan, membuat Bille terkekeh.
“Aplikasi khusus Yah,” jawabnya santai. Bersiap untuk menjelaskan bagaimana aplikasi itu bekerja tapi Bensan melambaikan tangan.
“Tak perlu kau jelaskan, Ayah tidak akan mengerti,” ujarnya kesal. “Lalu ini?”
“Ah, itu merupakan beberapa kerabat dari orang-orang yang pernah rombongan Ayah sakiti,” sahut Bille dengan hati-hati. Berharap ucapannya tidak menyakiti orang tuanya sendiri.
Bensan membolak balik kertas-kertas itu, menelitinya satu per satu. “Rasanya yang ini Ayah kenal,” sahutnya memberikan selembar kertas terakhir. “Dia mirip dengan salah satu anggota kelompok kami.”
“Ya, ada warga yang mengatakan dia masih sehat dan hidup dengan baik di kampung sebelah,” jawab Bille. “Rencananya besok kita akan bertemu beliau. Ayah tidak keberatan bukan?”
Bensan mengalihkan tatap ke kegelapan yang semakin pekat, menghela napas secara perlahan dan menghembuskannya kembali dengan sangat hati-hati. “Menurutmu, dia bisa membantu Ayah?” tanyanya serak. “Ayah tidak ingin bertemu salah satu dari mereka, sebenarnya.”
“Kalau itu membuat Ayah tidak nyaman, kita batalkan saja bertemu beliau,” sambut Bille. Ia tidak ingin memaksa ayahnya untuk sesuatu yang mungkin bisa menambah kecemasan.
Bensan menatap putranya sejenak, bibirnya yang tersenyum menambah kerinduan Bensan pada sang istri di detik itu juga. ‘Kenapa anak kita harus menyalin wajahmu?’ keluhnya dalam hati.