Cukup lama mereka berbincang, hingga akhirnya Bensan berhasil membujuk Pak Timu keluar dari kamar. Berganti pakaian setelah perempuan setengah baya yang ternyata adalah adiknya membersihkan tubuh ringkihnya. Bensan mengajaknya duduk di ruang tamu, cukup lama mereka membujuknya agar mau duduk disana karena Pak Timu merasa orang-orang akan menatapnya sinis setiap kali mereka melihatnya.
Ruang tamu yang tidak terlalu luas itu pun menyebarkan aroma yang tidak sedap, tapi tidak sepekat di kamar. Bensan duduk di samping Pak Timu, menyodorkan semangkuk bubur yang disajikan adiknya. Karena menurut wanita itu, Pak Timu sangat sulit makan.
“Makanlah sedikit,” bujuk Bensan. “Jangan buat adikmu khawatir,” sambungnya.
Pak Timu membuka mulut perlahan, sedikit demi sedikit makanan itu mengisi perutnya. “Lebih baik kan?” ujar Bensan setelah seluruh isi mangkuk habis.
Pak Timu mengangguk dengan bibir setengah menyeringai, baginya yang menyenangkan bukanlah makanan yang ia habiskan tapi kehadiran seorang teman setelah sekian lama ia merasa ditinggalkan dan sendirian. Tangannya yang masih gemetar itu meraih tangan Bensan.
“Aku senang kau datang,” jujurnya dengan tangan dan suara yang sama-sama gemetar. “Bagaimana kabarmu?”
Bille bangkit seiring dengan adik Pak Timu, meninggalkan keduanya berbincang dengan suara yang sama-sama gemetar. Ia duduk di teras rumah yang terbuat dari kayu itu, bersila di lantai dengan laptop di pangkuan. Seekor kucing kampung kurus menghampirinya, mengeong lembut seraya menggosokkan kepala ke kaki Bille. Menatap dengan penuh harap dan meminta perhatian ketika Bille menoleh dan menarik sudut bibirnya sedikit.
“Dia memang selalu begitu,” ujar adik Pak Timu, wanita itu datang dari dapur membawa baki kecil berisi teh dan sepiring mungil makanan. Bille menutup laptopnya dan berbicang ringan dengan wanita itu, ia terlihat sangat antusias dengan kehadiran mereka. Kucing kurus yang tadi memanjat ke lutut Bille berpindah ke pangkuan perempuan itu. Melingkar dan mendengkur nyaman disana, sekalipun jari-jari kurus wanita itu mempermainkan kupingnya yang nyaris tidak berbulu.
“Dia pasti senang dengan kehadiran ayahmu,” ujar wanita itu, tangan kanannya yang bebas dari telinga kucing mengambil sepotong ubi rebus yang masih mengepulkan asap. Menggigit ubi itu perlahan agar gigi dan gusinya tidak disiksa oleh rasa panas dari ubi.
“Sering sekali dia bertanya tentang ayahmu, apakah kami ada mendengar kabar tentang dia atau apakah kami bisa menghubunginya.”
“Kami minta maaf karena baru bisa datang sekarang,” ujar Bille, sedikit merasa bersalah. Bagaimanapun kehadiran mereka pada dasarnya semata karena kegelisahan ayahnya bukan karena ingin bertemu Pak Timu.
“Tidak mudah baginya melewati hari-hari setelah seluruh temannya meninggal. Dia selalu merasa dimusuhi siapa saja, kadang berteriak pada siapapun yang menatap atau bahkan sekedar menyapanya.”
Bille menatap wanita yang tengah menggelung rambutnya itu, tersenyum kecil. “Ayah juga merasakan hal yang sama,” ujarnya pelan. “Beliau bahkan diganggu mimpi buruk tentang orang-orang yang dulu menjadi korban mereka.”
“Seburuk itu?” tanya wanita itu pelan, ia menatap Bille dengan sedikit prihatin. “Aku tidak tahu apakah Timu juga diganggu oleh mimpi yang sama. Beberapa kali ia mengigau dalam tidur, tapi aku tak pernah bertanya. Kadang dia berteriak teriak juga. Apakah ayahmu begitu?”
“Ya, sepertinya mereka mengalami hal yang sama. Dan sejujurnya kami datang karena Ayah ingin menemukan seseorang dari masalalu beliau.”
“Siapa?”
“Seorang gadis kecil yang menurut Ayah pernah ia selamatkan,” jawab Bille, sekarang ia menatap wanita bertubuh ringkih di hadapannya. Sedikit berharap ia akan menemukan jawaban.
“Gadis kecil? Siapa?”
“Ayah bilang, putri Daryuna. Menurut Ayah gadis kecil itu selamat dari kebakaran yang menewaskan keluarganya.”
Wanita itu menatap Bille cukup lama, seakan ia tengah mempertanyakan kewarasan pemuda tampan di hadapannya.
“Bukankah dia ikut terpanggang saat itu? Orang-orang menemukan jasad kecil di dekat kandang ayam rumah mereka,” ujarnya kemudian.
Deg
Dada Bille berdetak tidak nyaman, ayahnya mengatakan bahwa gadis kecil itu bersembunyi dalam kandang ayam tak jauh dari rumah. Sepertinya ia harus bertanya pada banyak orang untuk meyakinkan bahwa sosok kecil yang ditemukan warga memang merupakan anak perempuan Daryuna. Dan jika benar sosok itu adalah dia, lalu siapa yang diselamatkan ayahnya?
“Apakah Ibu tahu dimana dia dikuburkan?” tanya Bille hati-hati.
“Dulu dia dikuburkan di dekat kuburan ayahnya. Tapi ketika ibu kandungnya datang, ia memindahkan kuburan itu. Tidak ada yang tahu kemana dia membawa kerangkanya.”
Bille menelan salivanya dengan rasa pahit yang pekat. Artinya mereka tidak akan pernah bisa menemukan gadis itu. Atau setidaknya menemukan bukti bahwa ia memang telah tiada. Pemuda itu menghela napas panjang secara perlahan, menekan rasa tidak nyaman yang mendadak memenuhi dadanya.
“Dia sudah memastikan bahwa itu putrinya?” tanya Bille dan lagi-lagi wanita itu menatapnya. Kali ini tak lagi menyembunyikan anggapan bahwa ia menilai Bille maupun Bensan sudah tidak waras.
“Kalau dia membawanya pasti dia yakin bahwa itu putrinya bukan?” jawab wanita itu dengan nada sedikit kesal.
Bille tersenyum, ia mengerti bahwa wanita di hadapannya ini menganggap dia maupun ayahnya mungkin sedang berhalusinasi atau justru menganggapnya tidak waras. “Yah, pasti begitu,” sahut Bille kemudian.
Satu jam kemudian setelah Bille mulai merasa jenuh menunggu ayahnya yang bernostalgia dengan suara riang di ruang tengah mereka pamit. Pak Timu menatap Bensan dengan wajah tidak rela, ia masih ingin berbincang dengan sahabat lamanya itu untuk waktu yang cukup lama.