Mata tua Bensan menatap nanap pada pemilik rumah, sangat berharap penjelasan lebih jauh tentang informasi yang baru saja ia sampaikan. Kepala kampung sebelah? Bukankah itu berarti kampung yang ia cari-cari sedari kemarin? Kampung yang katanya telah dihapuskan dan penduduknya dipindah ke beberapa tempat.
“Maksudmu kampung yang seluruh penduduknya telah dipindah itu?” tanyanya tak sabar.
Si pemilik rumah mengangguk. “Benar, lima belas tahun silam katanya dia menyelamatkan seorang gadis kecil dari pinggiran hutan. Ada yang mengatakan ia menemukan gadis kecil itu menangis sendirian disana karena ditinggalkan orang tuanya. Tapi beberapa yang lain menduga anak itu adalah salah satu korban perampokan yang seluruh keluarganya telah dihabisi. Dan kepala kampung itu kemudian membawa keluarganya pindah ketika seluruh penduduk diminta untuk pindah. Tapi tidak ada yang tahu dia pergi kemana, hanya beberapa selentingan mengatakan dia pergi ke daerah yang sama dengan kalian.”
Penjelasan panjang itu membuat mata Bensan semakin bersinar. Lima belas tahun yang lalu, jika itu benar maka gadis kecil yang diselamatkan kepala kampung itu pastilah gadis yang ia tolong. Seharusnya saat itu ia menunggu dan memastikan ada seseorang yang membawanya. Penyesalan itu menyelinap ke dalam sanubari Bensan, menyadari kebodohannya di masa lalu.
“Kepala kampung itu, kau mengenalnya?” tanya Bensan, karena bagaimanapun sebagai perampok yang lebih banyak bersembunyi di hutan ia tidak banyak mengenal penduduk apalagi dari desa tetangga.
“Kalau tidak salah nama beliau Bapa Wails, seingat saya beliau berasal dari Ambon tapi karena lahir dan akhirnya menikah disini beliau dijadikan tetua. Istrinya kalau tidak salah ingat Mama Irapanusa. Kami dulu sering belajar bersama beliau karena Mama Irapanusa adalah guru sekolah terbuka yang beliau dirikan untuk membantu anak-anak kurang mampu di beberapa kampung sekitar.”
“Itu benar, aku mengenal mereka,” cetus Bille. “Ibu dulu sering bercerita dan meminta pendapat pada Mama Ira. Tidak jarang juga beliau membantuku belajar.”
“Dan seingatku, Bapa Wails adalah salah satu orang yang paling menentang kebijakan Daryuna yang semena-mena. Itu sebabnya beliau sering diperlakukan buruk oleh kelompok Daryuna,” tambah Bille.
“Mama Ira bahkan pernah berkata pada Ibu, sekalipun mereka tidak menyukai cara Ayah dan kelompok kalian tapi adakalanya mereka mendukung perbuatan kalian karena secara tidak langsung itu membantu masyarakat dan sedikit demi sedikit itu membuat Daryuna kehilangan pengaruhnya di masyarakat. Terlepas dari rumor bahwa putranya meninggal karena perbuatan kelompok Ayah, mereka merasa perampokan kalian cukup membantu terutama bagi Masyarakat kecil yang selalu menerima hasil rampokan itu,” sambungnya kemudian.
“Kau benar,” imbuh pemilik rumah. “Ibuku juga pernah mengatakan hal yang sama. Bahwa kelompok Ayah pada dasarnya banyak membantu penduduk tapi cara mereka sangatlah buruk.”
Bensan menatap kedua laki-laki muda di hadapannya, selama ini ia selalu merasa bersalah pada Bille karena telah membuatnya kehilangan kasih sayang dan kehilangan tempat di masyarakat akibat perbuatannya. Tetapi mendengar pembicaraan mereka hari ini, sekalipun rasa bersalah itu masih bersarang di dalam nurani terjauhnya tapi ada sedikit rasa bangga dalam hati Bensan. Bahwa setidaknya mereka bermanfaat bagi penduduk sekalipun mungkin hanya satu persen saja.
‘Setidaknya yang diingat orang lain tentang kami tidak melulu hal buruknya saja,’ gumamnya dalam hati. Dan pikiran itu sedikit mengobati kegelisahannya.
“Jadi dimana Wails sekarang?” tanya Bensan kemudian, bagaimanapun sekarang ia merasa mereka harus fokus pada nama itu.
“Terakhir yang kami tahu beliau pindah ke kota yang sama dengan kalian,” jawab anak Pak Panjang. “Tetapi tidak ada yang tahu apakah beliau masih hidup atau tidak. Ataukah mereka berpindah setelah anak itu dewasa.”
“Sebentar,” ujar Bensan, ia yang sedari tadi terlihat seperti tengah berpikir tiba-tiba teringat akan sesuatu. “Kalian bilang anaknya meninggal karena kami? Seingatku, kami tidak pernah melakukan perampokan di kampung itu karena tidak ada orang pabrik di sana.”
“Katanya anak itu meninggal dalam kejadian perampokan saat ia menginap di rumah sepupunya di kampung ini,” jawab pemilik rumah.
Jawaban yang membuat Bensan berpikir panjang, mereka selalu menghindari menyakiti apalagi sampai membunuh anak-anak. Apakah mereka bersaudara dengan salah satu orang Daryuna? Pertanyaan itu tiba-tiba menyeruak ke dalam kepala Bensan.
‘Tapi aku harus mencari Wails ini, setidaknya untuk meminta maaf atas kematian putranya. Jika ternyata benar dia yang menyelamatkan gadis kecil itu, itu sungguh akan menjadi sebuah keberuntungan,’ pikir Bensan.
Mereka berbincang kesana kemari hingga menjelang siang, gadis kecil anak pemilik rumah bolak balik mengganggu Bensan. Tersenyum sembari memanggilnya kakek dan memamerkan beberapa mainan kesukaannya. Membuat pria itu mau tidak mau memaksakan senyum dan berbincang sebentar dengannya. Mendengarkan celotehan kecilnya yang riang membuat hati Bensan tidak saja terasa hangat tapi juga membuatnya merasa lebih ringan. Seolah ada beban di batin terjauhnya yang terangkat begitu berbincang dengan gadis cilik berparas cantik itu.
Keakraban yang terjalin begitu saja dalam waktu singkat membuat pemilik rumah menggoda Bille bahwa sudah waktunya ia memberi ayahnya seorang cucu. Bensan yang mendengar candaan itu menimpali bahwa Bille hanya peduli pada gambar dan foto. Perempuan ada di urutan terakhir dalam kamus hidupnya.
“Jangankan menyebut huruf N dari kata nikah, jodohnya saja mungkin masih dalam kandungan,” ujar Bensan dengan sengaja sedikit bersungut-sungut. Membuat tawa mereka menggema ke seluruh ruangan di selingi gerutuan Bille.
Mereka pamit menjelang sore dan Bensan merasa puas dengan kunjungan hari ini. Tidak saja bertemu dengan salah satu sahabat lamanya, juga mendapatkan cukup banyak informasi berharga untuk bisa menemukan tujuan mereka.
“Ayah pikir kita harus mencari Wails,” ujar Bensan ketika dalam perjalanan kembali ke rumah Ikram.
“Menurut Ayah kita harus kembali ke rumah?” tanya Bille kemudian.
“Mmm, Ayah rasa begitu,” sahut Bensan setengah merenung, Bille menatapnya sedikit heran.
“Apa masih ada yang ingin Ayah kunjungi atau Ayah caritahu?” tanyanya. Bensan menoleh dan menggeleng.
“Tidak, Ayah rasa informasi hari ini cukup. Kita cari Wails saja dulu, jika dia tidak bisa ditemukan atau gadis kecil yang dia selamatkan bukanlah orang yang kita cari, kita bisa memulainya lagi nanti bukan?”