Bensan tersentak ketika Bille bergerak perlahan dalam tidurnya, menggeliat dan menarik selimut yang terjepit diantara kedua kakinya. Pria itu bangkit dan memperbaiki selimut putranya. Mungkin bisa dihitung dengan jari ia memperbaiki selimut Bille sejak anak itu masih kecil. Bahkan Bensan tidak memiliki ingatan tentang Bille kecil, bagaimana dia belajar berjalan atau apa kata pertama yang ia ucapkan.
Kata ‘maafkan Ayah,’ sering tercetus dalam hati Bensan setiap kali ia menatap wajah tampan putranya. Kata-kata yang sangat sulit untuk ia zahirkan setiap kali berhadapan dengan Bille. Perlahan Bensan mengulurkan tangan untuk mengusap lembut kening Bille yang tertutup rambut. Ia merapikan rambut panjang Bille dan menghela napas ketika wajah mendiang istrinya terpeta di sana.
Bensan berpaling, selalu begitu. Setiap kali menatap putranya ia tak bisa menahan air mata. Bukan saja karena kerinduan itu menyeruak ke dalam sanubari terjauhnya tapi juga karena rasa bersalah yang tak bisa ia hapuskan dari hatinya. Rasa bersalah karena membuat istrinya berjuang sendirian untuk waktu yang cukup lama.
Setelah puas menatapi putranya, Bensan beranjak ke tempat tidur. Duduk sebentar di pinggir kasur kembali menatap Bille yang bergerak pelan dalam tidurnya sebelum merebahkan diri. Menarik selimut hingga menutupi leher dan sekali lagi menoleh pada anak semata wayangnya. Mengucapkan selamat tidur dan mimpi indah dalam hati untuk Bille. Bensan memejamkan mata perlahan, berharap mimpi buruk tentang gadis cilik itu tak menyiksanya lagi malam ini.
Pria itu merapal banyak doa sebelum tidur, dulu istrinya sering mengingatkan untuk berdoa sebelum tidur agar tidak disambangi mimpi buruk. Dalam hati ia bertanya-tanya apakah selama ini lupa merapal doa sebelum tidur sehingga mimpi buruk itu selalu datang? Mungkinkah karena tidak ada yang mengingatkannya untuk membaca doa sebelum tidur dia jadi lupa?
Bensan mengingat-ingat apakah dia benar-benar lupa berdoa atau hanya di saat-saat tertentu dia lupa? Ia merapatkan lagi kelopak mata agar tidak ada celah untuk cahaya memasuki retinanya, tapi tetap saja rasanya sulit untuk masuk ke alam tidur. Sekalipun matanya terpejam tapi hati Bensan nyalang, berpetualang keberbagai arah. Dan dalam ingatannya yang semrawut itu, Bensan berusaha mengingat-ingat wajah-wajah lain yang sesekali muncul dalam mimpinya. Bertanya dalam hati apakah ia bisa menemukan kerabat seluruh wajah yang kadang mampir itu dan meminta maaf pada mereka semua?
Sejatinya, ia ingin menyambangi kerabat mereka satu per satu tetapi entah mengapa hanya wajah gadis kecil itu yang sangat menyiksanya. Seolah ada sesuatu yang menariknya untuk tidak bisa melupakan wajah mungil itu.
Dalam kembara pikirnya, Bensan perlahan terlelap. Seperti biasa gelisah karena berbagai wajah yang sibuk mondar mandir dalam ingatannya, silih berganti seperti domba yang berlompatan dan berputar. Wajah-wajah yang kadang datang dengan wujud memelas tapi di lain kesempatan akan datang dengan wujud yang membuat bulu kuduknya merinding.
Dalam malam ini dalam tidurnya, Bensan merapal ayat apa saja yang ia ingat sering dilantunkan istrinya setiap malam. Entah benar atau tidak, yang pasti ia merapalnya agar wajah-wajah itu menyingkir dari kepalanya. Tapi bukannya menyingkir, wajah-wajah itu perlahan semakin banyak seolah menggandakan diri. Tertawa, menangis dan ada yang meringkik di telinganya membuat Bensan berteriak. Teriakan yang rasanya sudah hampir menyerupai lolongan serigala tapi tak ada suara yang keluar dari tenggorokannya.
Ia seperti tercekat dan merasa sesak, wajah-wajah itu perlahan berubah menjadi wujud aneh dan sebagian tak lagi menyerupai manusia. Mereka seperti melompat-lompat di atas dadanya yang semakin sesak membuat ia kehilangan celah untuk bisa terus bernapas. Kedua tangannya menggapai mencoba menyingkirkan kepala-kepala yang berlompatan riang di dadanya.
Bensan terbangun ketika kedua tangannya seperti terbelenggu, membuka mata dan menemukan Bille yang menunduk di atas dadanya. “Mimpi buruk lagi, Yah?” sapanya halus.
Bensan membuka mata lebih lebar, menyadari bahwa Bille memegangi kedua tangannya. Mungkinkah tadi yang coba ia singkirkan adalah anaknya sendiri? Memikirkan itu, Bensan menarik tangan dari genggaman Bille yang melepaskan kedua tangan tua itu perlahan. Lalu bangkit dan membantu ayahnya untuk duduk.
“Padahal Ayah sudah membaca doa sebelum tidur,” gumam Bensan setelah duduk dengan punggung lurus. Bille tersenyum mendengar protes itu.
“Memangnya doa apa yang Ayah baca?” tanya Bille, ia merapikan pakaian Bensan dan menyeka keringatnya. Mengganti pakaian sang ayah sebelum kemudian duduk kembali di sisi tempat tidur, bersiap mendengar apapun yang mungkin ingin ia katakan.
“Entahlah, tapi ibumu dulu selalu menyuruh Ayah membacanya sebelum tidur,” sahut Bensan setengah membela diri. Ia menatap Bille yang sibuk membereskan pakaian kotornya dan memasukkannya ke dalam koper.
“Sebelum pulang besok, bisakah kita mampir ke Pak Timu?” tanya Bensan kemudian.
Bille mengangguk, “Ayah ingin bertanya tentang Bapa Wails?” tanyanya.
“Bukan dia tapi anaknya. Seingat Ayah, kami tidak pernah mengganggu orang-orang di luar kelompok Daryuna,” jawab Bensan. “Aneh rasanya ketika mereka menuding kami yang membunuh anaknya.”
Bille mengangguk paham. “Baiklah,” ujarnya kemudian seraya bangkit.
“Kau tidak menyuruh Ayah tidur lagi kan?” tanya Bensan, membuat Bille menoleh dan tersenyum.
“Tidak kalau Ayah merasa sulit untuk tidur lagi,” jawabnya. “Lagipula sebentar lagi subuh.”
Bensan mengangguk dan turun dari tempat tidur dengan tertatih. Kakinya yang terluka di beberapa tempat masih terasa perih sekalipun Bille telah merawatnya dengan baik. Bille mengerling kaki ayahnya yang masih terlihat sedikit membengkak. Dalam hati khawatir ada bagian luka yang belum bersih sempurna sehingga mungkin mengundang tetanus.
“Ayah tidak apa-apa,” sahut Bensan ketika matanya menangkap tatapan Bille.
“Tetap saja Ayah harus mendapatkan suntikan antitetanus,” jawab Bille pelan. “Luka itu tidak mudah sembuh karena Ayah tidak bisa diam.”
Di telinga Bensan kata-kata lembut putranya terdengar seperti gerutuan, membuatnya berhenti melangkah dan duduk di meja makan. Menatap Bille yang berkutat di dapur dengan wajan dan ceret. Membawa secangkir kopi dengan aroma khas lima belas menit kemudian.
“Kau dapat kopi ini dari mana?” tanya Bensan sekalipun ia sudah menduga jawabannya.
“Anak Pak Panjang, dia meletakkan kopi itu di mobil sebelum kita pulang,” sahut Bille. “Sepertinya kopi itu memiliki kenangan bagi Ayah?”
“Hmm, ada sedikit kenangan yang terbangkitkan hanya karena aromanya,” jawab Bensan, ia menyesap kopinya perlahan sembari menikmati aroma semerbak kopi.