Kembali ke kediaman esok harinya, Bensan langsung ribut menanyakan keberadaan Buncis. Dalam bayangannya, kucing putih gendut itu akan menyambut mereka begitu memasuki halaman seperti biasa yang ia lakukan setiap kali Bensan pulang dari suatu tempat. Tapi sore itu, tidak ada tubuh mungilnya yang biasanya bergulingan atau duduk seperti roti bakar di kursi khususnya di teras.
Bensan mempertanyakan keberadaan kucingnya pada Bille, protes kenapa kucing itu tidak diantar bersamaan dengan kedatangan mereka. Bille yang memahami pentingnya Buncis bagi sang ayah menjanjikan akan menjemput kucing itu begitu mereka meletakkan barang di dalam rumah. Sedikit tergesa ia membawa koper mereka masuk, meminta Bensan menunggunya sebentar.
“Tidak jauh Yah, setengah jam lagi juga sudah di sini. Ayah bisa istirahat dulu sembari menunggu Buncis kembali,” ujarnya lembut.
Bensan hanya mengangguk tapi dalam hati tidak berniat mengindahkan permintaan itu. Setelah mobil Bille menjauh, ia melangkah keluar dan duduk di teras. Membawa mangkuk makanan dan minuman Buncis serta sebungkus penuh makanannya. Menunggu dengan tidak sabar, berkali-kali ia menjulurkan kepala berharap Bille muncul di ujung jalan.
Bibir gelap Bensan menyungging senyum ketika kendaraan Bille memasuki halaman. Ia bangkit dan menyambut putranya, ah lebih tepat menyambut kucing kesayangannya dengan penuh semangat. Bahkan sebelum Bille sempat membuka pintu, ia sudah mengambil Buncis dari bangku belakang. Menciumi kucing gemuk itu dengan gemas, membawanya masuk ke dalam rumah sambil mengoceh panjang. Bertanya tentang hari-hari yang dilewati kucing itu selama di penitipan. Bertanya apakah makanan di sana sama enaknya dengan makanan yang ia berikan.
“Pasti lebih enak makanan dari Ayah bukan?” tanyanya gemas sambil menggusal kepala kucing itu.
Bille menyeringai melihat tingkah ayahnya, dalam hati ngedumel sendiri karena Bensan tidak pernah bersikap semesra itu pada dirinya maupun sang ibu. Bahkan sejak kecil, ia terhitung sangat jarang bicara pada ayahnya. Dulu sekali, Bille pernah bertanya pada ibunya apakah sang ayah menyayangi dirinya atau tidak. Karena sekalipun Bensan ada di rumah, dia nyaris tak pernah bicara pada Bille. Pun ketika mereka sudah pindah dan ayahnya berganti profesi.
Ayahnya hanya bicara lebih banyak sejak ibu Bille meninggal. Mungkin karena ia butuh seseorang untuk diajak bicara dan karena tidak ada pilihan lain, ia terpaksa mengajak Bille bicara. Tapi Bille tahu jika sang ayah menyayanginya, ketika Bensan tak bisa menahan air mata di hari Bille wisuda.
“Sebenarnya anak Ayah, aku atau Buncis sih?” goda Bille ketika melewati Bensan yang tengah berbincang satu arah dengan Buncis.
Pertanyaan yang membuat Bensan mendongak dengan rasa bersalah pada anaknya. “Apa maksudnya itu? Tentu saja kau adalah anak Ayah satu-satunya,” jawab Bensan.
“Tapi aku iri pada Buncis,” sahut Bille seraya berjalan ke dapur. Mereka butuh makanan untuk santap malam.
Bensan bangkit masih dengan menggendong Buncis. “Ayah sudah tidak bisa menggendong atau menggusalmu dengan gemas seperti yang Ayah lakukan pada Buncis. Atau kau mau diperlakukan seperti itu? Ayo sini,” ujarnya dengan bibir menyeringai.
Bille bergidik sambil menyeringai pada ayahnya. “Aku memilih memasak, Yah,” sahut Bille setengah bergegas menuju dapur.
“Jangan lepaskan dia, atau dia akan mengacak-acak dapur,” sambungnya kemudian, memperingatkan Bensan yang hendak melepaskan Buncis. Kucing itu sepertinya rindu pada Bille, ia menggeliat-geliat minta dilepaskan sambil menatap Bille yang berlagak tak peduli padanya.
“Sepertinya dia rindu padamu,” ujar Bensan.
“Dia hanya rindu ikan kesayangannya di dalam kulkas,” sahut Bille, menyeringai ketika kucing putih itu sudah ada di sisi kakinya, melongok ke dalam lemari pendingin dan mengeong keras pada wadah biru yang ia tahu merupakan tempat penyimpanan ikannya.
“Itu belum diolah, memangnya kau mau makan ikan mentah? Kaya doyan aja,” omel Bille ketika Buncis menggaruk-garuk wadah biru itu, mencakarnya dan berusaha menarik benda itu keluar dari lemari pendingin.
Ia memasak makan malam mereka sendirian, ditemani Bensan yang bercakap riang dan bercerita panjang tentang perjalanan mereka pada Buncis. Bille sesekali melirik mereka yang duduk di lantai sambil bermain dan bercerita.
Setelah makan malam, Bille membongkar barang-barang sisa perjalanan mereka. Mencuci sambil mengerjakan beberapa gambar yang harus ia warnai. Sementara Bensan memilih istirahat di kamar bersama Buncis. Menyambung ceritanya yang terputus sepanjang makan malam. Mengomel ketika Bille datang dengan perlengkapan obat-obatannya.
“Kaki Ayah baik-baik saja,” ujar Bensan dongkol.
“Ayah tahu itu tidak baik-baik saja,” sahut Bille, ia menjangkau paksa kaki sang ayah. “Lihatlah sedikit bengkak dan warnanya berubah jadi sedikit ungu,” sambungnya.
Bensan menjulurkan kepala melihat telapak kakinya yang berdenyut setiap kali ia menapak. Tapi sifat keras kepalanya yang masih berpikir bahwa kakinya kuat seperti dulu membuat Bensan menolak diobati.
“Ayah bisa kena tetanus kalau besok kita tidak ke rumah sakit,” ujar Bille. Bensan menatapnya antara sedikit takut dengan ancaman tetanus tapi juga kesal karena pada dasarnya ia malas ke rumah sakit. Tempat dimana ia pasti harus bertemu banyak orang dan Bensan tidak suka dengan keramaian disana.
“Harus ke rumah sakit?” tanyanya, Bille yang tahu ayahnya enggan pergi mengangguk.
“Ya, ada beberapa perlakuan dan pemeriksaan yang tidak bisa dilakukan di rumah,” jawab Bille.
“Tapi ini hanya luka kecil,” protes Bensan.
“Kecil-kecil tapi banyak Yah. Dan sudah bengkak begitu.”
Dengan terpaksa Bensan mengangguk, membuat Bille tersenyum dan mengangkat kedua kakinya ke atas tempat tidur. “Ayah bisa istirahat lebih awal. Perjalanan beberapa jam pasti membuat Ayah lelah. Buncis akan di sini menemani Ayah.”
“Kau mau kemana?”