Perempuan di Keabadian

Kenya Indrasti M
Chapter #3

Sabre

“Aaargh!!”

Sabre terduduk di tempat tidurnya. Peluh membasahi kening padahal udara di kamar besar dengan cat biru keabuan itu sejuk dengan pendingin udara yang diatur di suhu 18 derajat celcius.

 

Mimpi yang aneh.

Pikirnya.

 

Gambarannya terlihat begitu nyata. Persis seperti menonton sebuah film, tapi dia ikut memerankan dan merasakan apa yang terjadi pada si tokoh utama.

Film tentang para pencari harta karun.

 

Sabre melirik jam weker di meja kecil sebelah tempat tidur, pukul tiga pagi.

“Sial!” umpatnya, setelah tersadar.

Dengan segera, pria itu memberikan perintah pada asisten robot yang terinstall di rumahnya, “Matikan musik pengantar tidur!” Setelah nada ‘bip’, alunan musik lembut yang tengah mengalun pun berhenti dengan fade-out yang estetik.

 

Dia curiga mimpi anehnya dipicu oleh musik yang berjudul “Deepest dream realm” itu. Sabre memang tertarik membelinya sekitar dua minggu yang lalu karena sudah hampir setahun, hidupnya kacau karena sulit tidur. Belakangan, kesehatannya mulai terancam dengan penyakit lambung kambuhan, merambat pada vertigo yang jelas mengganggu pekerjaannya.

 

Obat-obatan dokter, minuman herbal plus aroma terapi, pijit sehat, olahraga. Semua sudah pernah dicobanya. Tidak ada satupun yang bisa mendatangkan rasa kantuk di malam hari, ketika dia memang harus beristirahat.

 

Sabre berjalan kearah dapur, meracik salah satu minuman rempah yang tertata di laci.

 

Mungkin salahnya juga, karena semua terapi yang dilakukan tidak pernah ada yang tuntas. Semahal apapun harga yang dibayarnya, belum pernah ada yang membuahkan hasil sesuai dengan yang diharapkannya. Agendanya sangat padat, hingga dia seringkali harus mengalahkan jadwal-jadwal terapi yang tengah dijalani.

 

Sabre sebenarnya ingin menenggak pil tidur, tapi itu berarti akan menggagalkan rapat pentingnya pagi ini.

“Sial!” rutuknya. Ketika air panas yang dia tuangkan ke gelas berisi minuman rempah itu mengenai tangannya.

 

“Telepon Wilma!” Sabre memberi perintah pada asisten robot.

Nada ‘bip,’ tanda pesan diterima dan diteruskan pun berbunyi, Sabre memang sengaja tidak mengaktifkan suara manusia untuk merespon perintahnya. Dia merasa seperti orang yang kesepian jika di rumah yang besar ini dia harus berbicara dengan robot.

 

Sambungan telepon dijawab, suara berat terdengar dari pengeras suara, “Lo itu gak bisa ya, begadang gak usah ajak-ajak gue?”

“Selamat pagi buta, Wilma!” Sabre mengacuhkan omelan sahabatnya, “Gue gak bisa tidur.”

“Iya, tau!” jawab Wilma malas, “Lalu mau lo apa? Gue harus nyanyi lagu nina bobo? Ceritain dongeng? Minta aja si robot pintar di rumah!”

 

“Lo percaya mimpi ga?” suara Sabre terdengar seperti dari dimensi lain di telinga Wilma. Yang membuat sahabatnya itu mau tidak mau duduk dan mencoba meyakinkan apa yang baru saja didengarnya.

“Mimpi? Maksud lo gimana?”

 

Lihat selengkapnya