Sepulang kantor, Sabre menyudahi rapat panjang hari itu dengan duduk di coffee longue salah satu gym dekat kantornya.
Beberapa eksekutif muda yang dia kenal menyapanya, “Gak ikut latihan Bre?”
“Istirahat dulu nih hari ini,” Sabre menjawab sambil mengangkat gelas keramik yang berisi jeruk hangat.
Sabre menunggu Wilma. Dia sengaja tidak memberitahunya, tapi sudah memastikan Wilma berada disana dan jam berapa dia selesai, dari Lola, istrinya. Ini mungkin konyol, dan Sabre siap untuk ditertawakan.
Wilma turun dari tangga, terkejut melihat Sabre yang hanya duduk sambil minum secangkir jeruk panas. Kemudian bertanya sambil memberi isyarat latihan dengan kedua tangannya yang seperti sedang berlari, “Hey! Gak ke atas lo?”
Sabre hanya menggedikkan bahu.
Wilma menggeser bangku di depan Sabre dan duduk sambil memasukkan botol minum dan handuk kecil ke dalam tas olahraganya.
“Wil, gue mau minta tolong,” Sabre berkata dengan nada datar.
Wilma terbahak, “Lo boleh bilang gue macam bapak-bapak kolot, sekarang gue kasih tau, gaya ngomong lo udah mirip banget sama cewek yang lagi curhat karena baru diputusin pacarnya.”
“Tadinya gue mau minta temenin, gue dapet tiket first class..” Sabre memancing.
“Kemana?” potong Wilma.
“Gak jadi, gue berubah pikiran,” Sabre berlagak acuh.
Diam beberapa saat, setelahnya Wilma tambah terbahak, “Ok, jadi sekarang lo mau cerita tentang mimpi lo itu?” Tanya sahabatnya.
Sabre tidak terkejut Wilma bisa menebaknya. Sejak dulu dia memang senang mendalami acting dan dalam kesehariannya, perubahan ekspresi wajah, Sabre yang paling sering dijadikan sarana latihannya untuk menganalisa.
“Lo masih inget gue telepon dari tempat pameran di Eropa tempo hari?” tanya Sabre.
“Masih lah! Lo ke booth musik dan beli salah satu albumnya disana, kan? Lo telepon gue karena curiga musik itu semacam punya kemungkinan bisa merusak cara kerja otak lo yang super smart,” Wilma beranjak dari kursi dan membuka kulkas kecil di seberang ruangan, kemudian mengambil minuman isotonik dingin.
“Gue hampir yakin mimpi aneh itu muncul karena gue denger musik itu,” Sabre melanjutkan.
“Hampir?”
“Ya, karena gue butuh untuk membuktikan dengan mendengarkannya sekali lagi supaya yakin.”
Wilma menunggu beberapa saat, tapi Sabre tidak mengatakan apapun.
“Jangan bilang, lo minta gue temenin lo tidur!” Wilma melempar tutup botol plastik ke bahu Sabre.
“Biasa aja lah!” Sabre tersenyum santai.
“Lo emang manusia paling aneh, Sabre! Lo pengambil keputusan-keputusan paling berani di industri teknologi abad ini, dan gue pasti gagal sebutin olahraga ekstrim yang belum pernah lo lakuin, karena Sabre, si pecandu adrenalin udah cobain semua! Dan sekarang orang yang sama, minta gue temenin tidur karena takut mimpi buruk?!”
“Kurang kenceng ngomongnya!” Sekarang Sabre balas melempar tutup botol itu ke arah Wilma demi melihat sekelompok perempuan yang lewat tertawa tertahan mendengar kalimat terakhir Wilma sambil mencuri-curi pandang ke arah Sabre.
“Lagian lo ada-ada aja!” gerutu Wilma secara drastis memelankan suaranya.