Perempuan di Keabadian

Kenya Indrasti M
Chapter #10

Mozaik Kisah-kisah

 Musik Megah

Tara mengawasi Luisa dari ujung matanya. Perempuan tua dengan hidung bengkok seperti paruh burung yang duduk di kursi roda memandang jauh ke arah hutan yang berada di bukit pinus. Dia melihat ke arah deretan pohon-pohon cantik dan ramping itu.

 

“Pinus-pinus itu, kenapa pula terlihat begitu kurus? Apa karena mereka tidak banyak menyerap air. Atau mereka tidak mau banyak minum air karena tubuh mereka kurus dibanding kebanyakan pohon lain?“

Tara kecil menjawab pelan, “Mereka memang tumbuh untuk memiliki bentuk seperti itu, kurasa.”

 

“Jadi, apakah mereka menderita, atau sebuah konsekuensi tampil langsing?”

 

“Bukankah semua yang di alam adalah sempurna?”  

 

“Tapi.. apa kamu pikir mereka tidak egois? Mereka menjadi pohon, tapi tidak mau banyak menahan air? Demi apa?”

 

“Apakah anda mulai berpikir pohon pinus bisa menentukan sikap mereka sendiri, nyonya?”

“Kamu, jangan menjadi seperti pinus! Gadis kurus! Makanlah yang banyak!” Luisa berteriak dengan suara kasar ke arah Tara.

 

Seandainya pohon punya mata, pasti pinus-pinus itu sudah memutar bola mata mereka, atau melemparkan buah-buahnya demi mendengar ucapan Luisa, perempuan yang selalu memulai harinya dengan menggerutu. Selalu saja ada yang dia jadikan objek untuk dikeluhkan dan melampiaskan amarahnya.

 

Jika bukan pada pohon pinus yang selalu tampak salah itu. Lain hari, dia alihkan kekesalannya pada burung-burung yang bertengger. Mereka memang selalu mendekat, karena Luisa sengaja menyediakan sebuah tempat untuk meletakkan makanan mereka, biji-bijian. Luisa meminta pelayan menyediakan makanan dan air yang cukup untuk mereka, agar dia bisa menikmati kicauannya di balkon tempat dia sarapan. Namun dia benci ketika burung-burung itu terbang, melompat-lompat mendekatinya.

 

“Siapa bilang aku mengundang mereka ikut makan di meja bersamaku?!” dia menggerutu. Kemudian mengusir hewan malang itu dengan mengayunkan serbet makan sambil marah-marah. Maskipun begitu, burung-burung itu akan tetap datang kembali.

 

“Kalau saja burung-burung kecil itu bisa berpikir seperti manusia, mereka mungkin berkata dalam hati, ‘Apa sih maunya orang ini?’ Lalu mematuki Nyonya Luisa,” pikir Tara dalam hati.

 

Tara, seorang anak perempuan kurus dengan baju terusan sebatas lutut dengan motif bunga-bunga yang hampir pudar karena baju itu sudah diturunkan entah keberapa generasi. Tiap pagi ia berjalan menenteng keranjang rotan menapaki jalan menuju rumah Luisa yang berada di atas bukit. Perempuan tua itu selalu memintanya untuk membeli beberapa kue di kota dalam perjalanan ke rumahnya yang terletak di tepi hutan pinus itu. Kue dan es krim dari sebuah toko roti yang terlezat, karena Luisa tahu anak kurus itu menyukainya.

 

Anak itu datang pagi untuk bekerja, dan mulai akhir pekan ini dia akan membersihkan debu di ruangan koleksi yang ada di rumah besar itu.

Pekerjaan lainnya adalah membacakan buku untuk Luisa.

 

“Aku sangat menyukai buku. Tapi mataku yang tua membuatku mudah mengantuk jika membaca,” hal itu kerap kali Luisa katakan sambil mengomel. Namun setelah anak itu datang, dia tidak lagi terlalu sering menggerutu tentang mengantuk saat membaca buku, meski masih kecil, anak itu tahu cara bercerita dengan menarik.

 

“Dia tidak pernah membuatku bosan dan tertidur,” ujar Luisa dalam hati. Meskipun dia akan tetap mengeluh tentang hal lain, seperti karakter yang ada dalam buku maupun jalan cerita yang tidak sesuai dengan keinginannya.

 

 

 

“Selamat pagi, nyonya..,” ucap Tara pada pagi hari yang lain.

 

“Siapa itu..?” Luisa bertanya tanpa mengalihkan pandangannya pada secangkir teh di tangannya.

 

“Tara nyonya. Hari ini saya akan membersihkan ruangan kotak musik,” anak kecil kurus itu melaporkan. Seperti selalunya, ketika dia akan masuk ke dalam ruangan apapun jika ada Nyonya Luisa. Karena beliau sangat tidak suka dibuat terkejut.

 

“Hmm..” Luisa mengangguk.

 

“Anda kelihatan segar pagi ini, nyonya,” sapa anak itu sopan.

 

“Hmm.“ Luisa menjawab singkat. Dia bukan orang yang ramah. Sulit untuk menjadi ramah jika hidup sendirian dan ditinggalkan. Biasanya dia malah tidak menjawab, hanya mengangkat sebelah alisnya saja.

Anak itu meletakkan keranjang berisi kue dan es krim yang dipesan Luisa, dia sudah sangat mengenal perempuan tua dengan wajah merengut itu.

 

“Nyonya Luisa hanya kesepian, itulah yang membuat beliau tersenyum dengan cara mengerucutkan bibirnya” Begitu yang dikatakan pada dirinya sendiri ketika mulai merasa ingin menangis, menghadapi perempuan dingin itu.

 

Kemudian Tara segera minta diri untuk membersihkan lemari besar yang terletak di sebuah ruang luas berpilar putih.

 

Seorang pelayan menjelaskan beberapa peraturan dan cara yang harus diikuti dengan baik. Di tengah ruang itu, terpasang rak – rak besi membentuk lingkaran yang tingginya mungkin sekitar lima kaki. Disitu berderet kotak musik dengan patung atau miniatur monumen ketika dibuka.

 

Koleksi itu jumlahnya banyak sekali, mungkin ratusan. Dan ruangan itu memiliki sebuah kubah kaca, dengan tuts piano besar tepat di bawahnya. Hingga jika seseorang menapakkan kakinya di balok-balok yang tersusun di lantai, terdengar suara dentingan yang megah, dipantulkan kubah.

 

Anak perempuan itu terkesima meihatnya. Kemudian dia membersihkan tuts piano di lantai itu dengan membunyikannya. Hatinya terasa sangat gembira.

 

 Musik berdenting indah, menggema di ruangan besar itu.

 

“Wahh..”, Tara mengeluarkan suara kagum.

 

“Apa yang membuatmu begitu takjub?” Luisa tiba-tiba berada di ruangan itu, “Separuh hidupku, bahkan lebih.. tuts piano itu mengejekku karena aku tidak akan pernah bisa menjejakkan kakiku disana.

Aku hanya duduk di kursi roda sial ini, cuma bisa memandangi semua. Sama nasibnya seperti burung-burung yang terbang diluar melintasi kubah itu, bola kaca. Kamu bisa melihat keindahannya di balik kaca, tanpa bisa menyentuhnya.

 

“Tapi bola kaca memang lebih indah dipandang saja, begitu juga dengan hal-hal lain di dunia,” jawab Tara yang masih menganggap itu adalah sesuatu yang hebat.

 

“Memang apa lagi yang bisa kita lakukan pada sebuah bola kaca? Jika aku memecahkannya dengan segenap kepiluan yang menderaku, semua ini akan mudah hancur berkeping-keping. Keindahan yang rapuh, begitu juga hal lain di dunia,” gerutu Luisa dalam hati.

 

 

 

***

 

Bekerja di Rumah Penyihir

 

“Sudah! Bacakan saja aku buku-buku! Mereka lebih mengesankan, meski dengan tampilan sederhana, tanpa menjanjikan apapun. Tapi buku bisa membawa pikiran kita berpetualang ke tempat-tempat manapun - bahkan yang tidak pernah ada di dunia. Kunci keindahan yang sejati, ada disini, Tara!” Luisa mengetuk-ngetuk pelipisnya sambil melihat ke arah anak perempuan kurus yang mendorong kursi roda, di belakangnya. Menuju perpustakaan di ruang tengah rumah besar itu.

 

 

Setelah Tara membacakan beberapa bab dari buku yang dipilih Nyonya Luisa, dia kembali ke tempat tinggalnya, sebuah panti asuhan. Tempat yang dikenalnya sejak kecil, ibu pengurus panti adalah perempuan yang dianggapnya sebagai sebenar-benarnya ibu. Meskipun tidak demikian sebaliknya.

 

Lihat selengkapnya