Malam ini, Sabre meneruskan membaca buku penawar yang belum selesai dibacanya. Dia mendapati dirinya seperti membuat ritual yang kurang lebih serupa dengan kali pertama dia membuka bingkisan buku itu. Memastikan dirinya benar-benar merasa rileks, karena dia hanya ingin menghabiskan waktu berdua saja dengan pikirannya, dan tenggelam dalam cerita buku bergambar perempuan yang rambutnya seperti pohon bersulur itu.
“Cerita apa lagi sekarang?” tanyanya penasaran.
***
Musik Tak Berusara
Suatu pagi, Tara membersihkan ruangan kotak musik. Dia senang berlama-lama disana, memandangi benda-benda yang dibuat dengan indah.
Dia akan berjalan mondar mandir mengelilingi ruangan itu, memainkan piano dengan perlahan dan menikmati setiap gema yang memantul di dinding dan kubah kaca.
“Sudah berapa kali kamu bolak-balik disitu?” Nyonya Luisa tiba-tiba datang. Tara ingat, Nyonya Luisa amat membenci piano yang dimainkan dengan kaki, sedangkan dia duduk di kursi roda, baginya, semua keindahan ini seperti penghinaan atas ketidakmampuannya.
“Entahlah nyonya.. ruangan ini sangat cantik dan aku sangat menyukainya,” Tara berkata terus terang.
Luisa terlihat mencibir. Tara kemudian berlari kecil ke arahnya dan berkata, “Mungkin kita bisa mencoba sesuatu yang lain. Not apa yang yang ingin anda mainkan?” tanya Tara sambil mendorong kursi roda Luisa.
Luisa mengangkat tangannya, “Hentikan!”
Namun Tara tidak mendengarnya dan tetap mendorong hingga nada-nada berganti-ganti menggema di ruangan itu, dari roda-roda kursi yang menyentuh tuts piano di lantai.
Hingga ketika Tara memutar kursi roda untuk berbalik dan kakinya menginjak sudut piano paling kanan, dia terdiam.
Luisa memperhatikan anak perempuan kurus kering itu.
“Nyonya, nada apa ini?” Tara bertanya dengan wajah kaget.
“Kamu bisa mendengarnya?” Luisa lebih terkejut lagi mendengar kata-kata Tara barusan.
Tara mengangguk, “Iramanya seperti musik yang berbicara pada diriku?”
“Pada kehidupan besar yang ada dalam dirimu,” Luisa memandang ke atas kubah kaca di atasnya, seperti merasakan sesuatu dalam dirinya.
“Sudah lama sekali aku tidak mendengar musik itu,” Luisa memandangi kedua kakinya, tersenyum getir.
“Lucu sekali anda menyebutnya musik, karena rasanya hanya seperti desauan angin!” ujar Tara.
Sejak saat itu Tara merasa Nyonya Luisa berubah.
Dia bicara pada Tara lebih sabar, dan kadang terlihat tersenyum tipis.
“Anak manis, kelihatannya Nyonya Luisa tampak bahagia akhir-akhir ini. Terima kasih, saya yakin, kamu lah yang membawa perubahan,” Ibu Kamila berkata pada Tara ketika mengantarkannya menemui Nyonya Luisa, “Beliau bilang ingin menyampaikan sesuatu padamu. Ikutlah denganku.”