Perempuan di Keabadian

Kenya Indrasti M
Chapter #16

Kebakaran

Kue-kue itu berhasil disiapkannya tepat jam 12 malam. Tara masih bisa tidur sampai sebelum fajar. Dia harus membersihkan panti asuhan dan menyiapkan sarapan, kemudian berangkat bersama beberapa saudaranya yang juga mencari uang di stasiun kereta kota, membawakan koper atau menggosok sepatu

 

Ibu panti memeriksa baki kue tempat yang akan dia bawa untuk berjualan. Tara menatap ibu panti dengan mata yang berbinar bangga, karena kue-kue itu harum dan mengembang sempurna, “Aku berhasil membuatnya, bu,” ujar Tara.

 

“Tentu saja harus, bagaimana lagi kamu akan menyambung hidup kalau membuat kue saja tidak bisa,” jawab ibu panti sambil mengibaskan tangannya agar anak di belakang Tara segera mendekat dan diperiksa kelengkapannya.

 

Tiba di stasiun kereta, Tara mulai menawarkan kuenya. Orang-orang lalu lalang melewatinya, beberapa malah menabraknya, seolah keberadaan dia tidak terlihat disana.

 

“Apa yang bisa menarik perhatian orang?” Tara berpikir dan mencoba mengarahkan dirinya pada rasa bahagia. Dia melihat sekeliling, betapa senangnya melihat orang-orang berpakaian rapi, perempuan cantik dengan aroma parfum bunga yang wangi. Peluit kereta yang melengking seperti musik pengiring langkah kaki orang-orang dan kesibukan pagi.

 

Tara mulai bernyanyi sambil tersenyum menawarkan kue-kuenya, sesekali dibukanya kain penutup baki, hingga aroma lezat menguar dari sana.

“Manis sekali lagumu, kue apa yang kamu jual?” seorang perempuan cantik mulai berhenti dan membeli kuenya, teman-temannya yang lain menghampiri. Lalu terus disusul orang-orang yang mulai berkerumun dan membeli kue-kue buatan Tara.

 

Dalam waktu dua jam saja, Tara berhasil membuat baki itu kosong, kuenya terjual semua.

 

Dia menari dan sungguh-sungguh menyanyi dengan gembira di sepanjang jalan. Lalu dia berpikir, hari masih pagi, dia tidak ingin kembali ke panti asuhan seawal itu. “Membosankan sekali pasti, aku hanya akan mendengarkan ibu panti bergosip panjang lebar dengan beberapa perempuan yang membantunya memasak,” Tara bergumam.

Di kejauhan, dia bisa melihat cerobong asap rumah besar mendiang Nyonya Luisa yang berdiri tegak di atas bukit. Ada rasa pedih dalam hatinya, seolah sesuatu diambil paksa dari dalam dadanya, meninggalkan tempat yang kosong dan hampa.

 

Kakinya bergerak melangkah menyusuri jalan kecil menuju rumah itu. Tara baru menyadarinya ketika dia sudah benar-benar berada di depan pintu masuk yang menjulang tinggi. Diketuknya pintu dengan ragu, tidak ada jawaban. Dia mengetuk lagi selam sepuluh menit, dan baru saja Tara akan berbalik memutuskan untuk pergi, pintu itu malah terbuka. Seperti harapan, baru akan datang ketika kita sudah memutuskan pergi melepaskannya.

Ibu kepala pegawai terkejut melihatnya, “Tara..?”

 

Berbagai emosi menghujani Tara, dadanya terasa sesak, matanya panas, menahan tangis. Perempuan tinggi besar itu memeluknya.

“Kamu mau masuk?” dia menawarkan.

Tara mengangguk, “Bolehkah aku melihat ruang kubah kaca?”

“Tentu, ayo masuklah..” ibu kepala pegwai itu menuntun Tara, mereka berjalan perlahan. Tara meresapi semua yang ada di sekelilingnya, seolah-olah dia melihatnya untuk yang terakhir kali.

 

 

“Saudara sepupu Nyonya Luisa datang lagi,” ibu kepala pegawai melihat keluar dari jendela ruangan kubah kaca.

“Aku akan menemui mereka, kamu boleh berada disini selama yang kamu mau, Tara,” perempuan itu menoleh ke arah Tara ketika sudah akan menuruni tangga.

“Terimakasih.. Bu Kamila,” jawab Tara tersenyum senang dan mengusap air matanya.

Lihat selengkapnya