Sabre sepertinya bisa mulai sedikit melihat sebuah petunjuk yang bisa digunakannya untuk berbicara dengan Freya, dari buku perempuan pohon yang mengantarnya tidur semalam.
“Menurut lo, kalau gue coba lagi malu-maluin gak?” Siang itu Sabre menyempatkan diri mampir ke tempat syuting Wilma.
“Kalau lo gak coba lagi, justru itu yang nunjukin kapasitas lo,”
“Sebagai apa?”
“Si lemah”
“Hmmm..”
“Tumben lo gak marah-marah, tidur nyenak kayaknya semalam,” Wilma memainkan kedua alisnya naik turun.
“Ngapain marah, gue tau gue gak lemah. Gue gak butuh validasi dari elo,” Sabre menjawab santai.
“Wih… kemasukan roh apaan lo? Bijak banget hari ini,” Wilma memperhatikan Sabre dari ujung rambutnya yang ikal sampai ujung sepatunya yang mengilap.
Yang diperhatikan masih sibuk mengetik sesuatu pada laptopnya, “Gue mau tanya, kira-kira penawaran kali ini sesuai gak ya dengan visi mereka?”
“Bikin Freya mau ketemu lo apa nggak, gitu maksudnya?” Wilma menggoda sahabatnya yang lantas meliriknya tajam.
“Sebentar Wil.. bisa gak lo pisahin, antara ketulusan sama segala niat lo itu?” Sabre merespon.
“Oke, oke, sekarang kita lihat sejauh mana ketulusan lo. Udah pernah lihat Freya kan?” tanya Wilma.
Sabre mengangguk, “Iya, kenapa?”
“Cantik?”
Sabre tidak langsung menjawab, hanya bibirnya bergerak-gerak, tapi tidak ada kata-kata yang keluar.
Wilma tertawa, “Sekarang gini deh. Misalkan perempuan cantik yang lo lihat hari itu ternyata salah, bukan Freya yang dimaksud pegawainya. Toh lo gak dikenalin secara langsung kan? Kesalahan bisa saja terjadi! Dan Freya sang komponis musik ini ternyata seorang perempuan tua, yang memang bijak luar biasa tapi tidak cantik. Apa reaksi lo masih tetap sama?”
Sabre tidak suka dengan apa yang dikatakan Wilma, dan itu mengganggunya. Karena dalam hatinya entah kenapa dia memang berharap perempuan tinggi semampai berkulit bersih kecoklatan dengan rambut bergelombang dan wajah yang teduh itulah Freya, yang memilihkannya lagu, memberinya buku untuk menenangkan tidurnya, dan menjawab surat-suratnya.
“Ngapain sih lo bilang begitu? Ngerusak imajinasi orang aja!” Sabre menjawab Wilma dengan kesal.
“Emang sengaja! Biar niat lo tulus, bener-bener berusaha memperbaiki sesuatu yang salah, menyembuhkan bagian yang sedang sakit dalam diri lo. Bukan cuma mengejar Freya.”
Sabre menghembuskan napas, melampiaskan perasaan jengkelnya, karena dia menyadari apa yang dikatakan Wilma benar, bisa jadi belakangan ini dia kehilangan fokus. Otaknya mulai membangun skema untung rugi, dia mau berusaha keras karena perempuan cantik itulah yang memberikannya perhatian selama ini.
“Kalau situsinya seperti yang gue gambarin tadi tentang Freya. Atau katakanlah Freya yang lo lihat itu memang benar dia, tapi dia sudah punya kekasih atau bahkan mungkin suami yang menyayanginya, dan seganteng gue, mereka juga punya anak-anak yang lucu. Gue gak mau pada akhirnya lo bukannya sembuh malah tambah putus asa.”