Pria tua yang matanya selalu berkedip-kedip cepat itu dulu menyelamatkan Nael ketika dia menyelinap keluar dari kehidupannya yang bagaikan mimpi buruk.
Nael kecil melompat ke dalam sebuah kereta kuda yang lewat di pinggir hutan, malam itu. Setelah berhari-hari tidak makan, hanya meminum air hujan, dan nyaris mati kedinginan. Dalam keadaan pingsan, Nael dibawa Rukaf ke rumahnya.
“Anak laki-laki akan bisa membantuku bekerja jika dia kubesarkan dengan baik!” Pikir Nael.
“Apa yang kamu lakukan di keretaku?! Dimana orangtuamu?” pertanyaan pertama Rukaf ketika Nael siuman.
Nael menggelengkan kepalanya keras-keras. Dia bercerita bagaimana hidup bersama ayah tiri pemabuk seperti berada dalam neraka, yang tak hentinya meracau tentang dia tidak berkewajiban memelihara Nael karena perempuan yang dinikahinya, ibu Nael bukan perempuan baik-baik.
Pria itu kemudian akan memukulinya tanpa ampun jika dia tidak menyelamatkan diri. Bersembunyi di atas lemari, atas atap hingga atas pohon. Hantaman seorang pria berbadan besar – apalagi dalam keadaan mabuk, tentu bisa membuat tubuh anak kecil remuk.
Nael tidak memiliki tempat berlari. Keluarga mendiang ibunya pun tidak ada bedanya, hanya sekumpulan mahluk yang juga seringkali kehilangan akal dan kesadarannya sebagai manusia.
“Anak malang, entah apa yang kamu lakukan di hidupmu dahulu, hingga harus terlahir di keluarga seperti itu,” Rukaf menggeleng mendengarkan ceritanya.
“Rosela! Rawat luka-luka di tangan - kaki Nael, dan juga bilur-bilur di punggungnya!” perintah Rukaf pada istrinya.
Kehidupan dari segi ekonomi yang ditawarkan Rukaf sendiri sebenarnya tidak jauh berbeda. Meski diakuinya, masih ada seikit lebih baik dari keluarganya dulu. Paling tidak, meskipun sangat licik, Rukaf tidak pernah memukulinya.
Mereka tinggal di sebuah rumah yang aromanya adalah campuran kayu wangi, bumbu masak dan besi berkarat.
Rosela, istri Rukaf pandai memasak, dan selalu berbicara dengan nada cepat, Nael seringkali melihat mereka bertengkar hebat. Dari masalah apapun, penyebabnya hanya satu. Dia mulai mengerti karana dia selalu mendengar semua diawali dengan kata-kata, “Sampai kapan kamu akan menelantarkanku, Rukaf?!” Dan suaminya akan mengatakan jawaban yang kurang lebih sama, “Perempuan memang tidak bisa mengerti apapun, kerjanya hanya menuntut! Dengar, aku akan membahagiakanmu! Dengan harta karun itu, kamu bisa memiliki apapun yang kamu inginkan, Rosela!”
Tubuhnya yang kekar mencoba menangkis, menghindari perabotan masak yang dilemparkan istrinya ke arahnya. Seperti itulah keadaan di dapur ketika mereka berdua bertengkar.
“Aku pikir, dulu kamu pernah berkata, harta karun itu adalah diriku?! Dasar pembohong! Sekarang kamu telah lupa dengan kata-katamu sendiri dan terus meracau tentang harta karun dalam khayalanmu!” amuk Rosela.