Sabre membuka matanya, dan duduk tegak.
“Mereka hidup bahagia,” ujarnya sambil tersenyum. “Paling tidak, ada sebuah kebahagiaan dalam hidup Tara.”
“Kamu masih saja peduli padanya,” Freya tersenyum.
Sabre tertawa kecil, “Kenapa kamu berpikiran sepertinya aku mungkin sudah tidak peduli?”
Situasi ini sangat membingungkan. Dia ingin mengakui adanya perasaan istimewa untuk Freya sejak pertama melihatnya. Tapi masih tidak yakin, apakah di kehidupan kali ini mereka akan mejalani kisah bersama lagi? Dan dia rasa belum memiliki momen yang tepat untuk menanyakan hal itu. Karena pernyataan Freya juga bisa berarti: “Kamu masih saja peduli padanya ..sedangkan Tara tidak?”
“Sabre, apakah kamu masih mau meneruskan menyusun kepingan ingatanmu sekarang?” tanya Freya.
“Kamu lapar?” Sabre melihat jam di pergelangan tangannya.
“Belum, tapi maaf.. aku ada janji malam ini..” Freya berkata ragu-ragu.
“Oh, tidak apa. Aku yang minta maaf,” jawab Sabre sambi memaki diri sendiri. “Apa yang kupikirkan tadi? Bertanya apakah dia lapar? Mengajaknya makan malam? Astaga aku terbawa suasana yang ada dalam kepingan masa lalu, yang baru saja kurasakan adalah aku dan Tara hidup bersama, maksudnya.. Nael dan Tara.”
“Tidak, kamu tidak perlu meminta maaf, hal itu sangat wajar, seharusnya aku memberi ruang dulu bagi kamu untuk meredam semua. Tapi waktu terasa berjalan begitu cepat hingga aku baru saja teringat janjiku.”
Sabre menggeleng dan segera bersiap untuk pulang, dia ingin Freya paham bahwa dia sudah berusaha secepatnya memudahkan Freya untuk datang makan malam sesuai janjinya; dan, dia tidak ingin Freya menyebut nama laki-laki yang akan dia temui itu.
Suasana diantara mereka menjadi sedikit canggung.
“Biarkan aku yang menyetir,” Sabre menawarkan. Agar dia punya sesuatu yang dikerjakan, mengalihkan kekesalan pada dirinya sendiri. Selain itu, dia juga tidak mengenal daerah itu sama sekali, hingga harus menyetir pelan-pelan, dia hanya ingin memperpanjang waktu kebersamaan mereka.
“Baiklah, aku akan menunjukkan padamu arah jalannya,” ujar Freya.
“Sebenarnya kita akan kemana?” tanya Sabre.
“Pulang, kembali ke rumah,” Freya tersenyum.
“Semula kupikir kita akan mampir makan malam..”
Baru saja Freya akan membuka mulutnya untuk menjawab, Sabre sudah berkata lagi “Mungkin lain kali,” sambil tersenyum juga meski tidak melihat ke arah Freya.
Setelah sampai, mobil Cadillac itu diparkir oleh seorang laki-laki dengan seragam, penjaga rumah resort Freya.
“Sampai besok..” ucap Freya ketika mereka berpisah jalan menuju kamar masing-masing. Dia menatap punggung Freya, rasanya seperti menempuh jalan hidup yang berbeda, pikir Sabre.
Dan dia sadar sudah mulai lebay.
Sabre menunggu beberapa saat, seperti salah satu tips yang pernah Wilma garis bawahi, “Jika kalian berpisah, dan dalam beberapa langkah dia membalikkan badan lagi untuk melihatmu, berarti dia memiliki perasan istmewa padamu. Jika dia langsung pergi tanpa berbalik, tandanya perasaan dia padamu hanya teman biasa saja.”
Dan disitulah Sabre, berdiri menunggu. Tak berapa lama, langkah Freya berhenti, dia membaikkan badannya, untuk melihat ke arah Sabre lagi, tersenyum. Sabre melambaikan tangannya sekilas sambil menghela napas.
Setelah langkah lebar, dia berdiri di balik pintu dan berpikir, “Apakah info dari Wilma itu akurat? Ah, aku semakin membenamkan diri dalam harapan,” desahnya
Freya bersandar di belakang pintu paviliunnya. “Apa yang aku lakukan? Salahkah aku jika mengikuti perasaan ini, menjebak dia. Tidak! Aku tidak menjebaknya, dia datang sendiri, aku bahkan hampir pingsan ketika melihatnya di pameran itu. Aku tidak menyangka akhirnya benar-benar bisa bertemu dengannya.”