Perempuan di Keabadian

Kenya Indrasti M
Chapter #29

Melepaskan

Tara merasa kehidupannya dengan Nael sangat sempurna, kebahagiaan yang rasanya mampu menebus segala kesedihan yang dialaminya sejak dia mulai bisa mengingat.

Nael dan Tara tidak tepisahkan dan saling membutuhkan. Bagi Nael, Tara adalah seseorang yang dilahirkan untuk dibuatnya bahagia. Sedangkan Tara, meskipun masih kesulitan mengekspresikan perasaannya, dia menjadikan Nael tempatnya bergantung.

 

Nenek Gunung dulu pernah mengatakan pada Tara, bahwa Nael mewarisi naluri seorang raja, dan itu terpancar dari sorot mata dan karakternya yang tidak mengenal takut, itulah mengapa orang bijak selalu bilang mata adalah cerminan jiwa.

 

Pada satu sore, mereka sedang menikmati anggur berdua, di balkon rumah mereka yang indah, seperti kebiasaan mereka setiap harinya. Memandangi sungai jernih di belakang rumah besar mereka.

“Tara, aku sepertinya akan melakukan perjalanan jauh, seseorang dari masa lalu datang..”

“Siapakah dia?”

“Orang yang pernah merawatku waktu aku kecil,”

“Oh, ayah angkatmu itu? Apa beliau akan datang kesini?”

“Tidak, lebih baik tidak usah.”

“Baiklah jika menurutmu begitu. Untuk urusan apa kamu pergi?”

“Ada suatu daerah yang bisa diambil alih, dikuasai, dan hal itu akan memakan waktu lama. Jika sudah berhasil nanti, aku akan membawamu kesana.”

 

Tara meletakkan gelas anggurnya di meja, jemarinya bergetar, “Kenapa begitu mendadak, Nael?”

“Tara, jangan sedih, aku akan segera kembali, tunggulah disini.”

“Apa kamu benar-benar harus pergi? Membosankan kah ternyata, hidup denganku?”

“Bukan seperti itu, Tara. Tapi sesuatu dalam diriku mendorongku dengan kuat untuk melakukan itu.”

 

“Katakanlah padaku, kamu mengingatku ketika matahari senja seindah ini, menggambarkan kehidupan kita yang begitu sempurna.”

“Ya, aku akan mengingatnya, dan jangan kamu potong rambutmu sebelum aku kembali, aku tidak ingin ada bagian dari dirimu yang luput dariku.”

Tara menangis dalam diam, tapi dia tidak ingin menunjukkan keterpurukannya. Dia akan kuat dan tetap mengarahkan wajahnya pada kebaikan dan kebahagiaan.

Nael menggenggam dan mengecup tangan halus satu-satunya perempuan yang dikasihi dalam hidupnya yang tercabik-cabik kejahatan.

Dan berpelukanlah mereka berdua, menangis, merutuki takdir yang tidak bisa ditolak.

 

 

 

Banyak Tara belajar dari kehidupannya, bahwa sesuatu yang memang harus terjadi, pasti akan terjadi juga bagaimanapun kita menghindarinya. Dia tahu, Nael terlahir dengan jiwa petualang, sekuat apapun Tara mencoba membuatnya tetap di sisinya, dia akan mencari jalan untuk membebaskan diri, pergi untuk menemukan, menaklukkan hal-hal baru.

 

Nael pun pergi.

Tara berdiri disana, dengan kesedihan menggenangi harapannya.

 

Lihat selengkapnya