Tara berlari ke kamar, menguncinya dari dalam. Menjerit, membanting, merusak semua benda yang ada disana, dia ingin semua merasakan hancur seperti dirinya, kepercayaannya, hidupnya. Tara mengambil gunting dan melakukan apa yang seharusnya sudah lama dia lakukan,
Memotong rambutnya.
“Brengsek! Untuk apa aku mendengarkan kata-kata manis si pembohong itu?!”
“Lelah kurawat janji pada si pembohong itu, untuk melihatnya menghancurkan semua!”
“TIdak ada lagi janji yang pantas kupertahankan pada laki-laki pengecut seperti dia!”
Tara melemparkan potongan rambutnya dalam perapian kecil. Helaian demi helaian habis dimakan api. Dia tertawa keras, menertawakan kebodohannya selama ini, “Biar saja hangus semua, hilang, mati dalam pengkhianatan!”
TIdak ada yang bisa menembus ke dalam kamar Tara, setelah beberapa jam. Sampai akhirnya anak laki-lakinya mengetuk pintu dan menangis.
“Tara, anakmu mencarimu.. bukalah pintunya.”
Jika ada di dunia ini seseorang yang akan dia berikan segalanya adalah anaknya, bukan lagi Nael.
Nael mencium bau rambut terbakar dan pikirannya menjadi kalut,
“Tara! Tara! Buka pintunya!”
Sesaat sebelum Nael mendrobak, pintu itu terbuka. Dia melihat Tara kehilangan rambutnya yang indah, hanya tersisa ujungnya yang tercabik-cabik dengan gunting tanpa ampun.
Diambilnya lengan anak satu-satunya itu dengan perlahan.
Nael maju selangkah, Tara membanting pintu tepat di depan hidungnya. Dalam hatinya dia sedikit menyesal, kenapa tidak dia tunggu Nael melangkah sekali lagi, hingga pintu itu bisa mematahkan hidungnya ketika ditutup.
Suara di hati kecil Tara berkata, “Kejam sekali yang kamu pikirkan.”
“Ayolah, aku hanya ingin mematahkan hidungnya, tidak sebanding dengan apa yang dia lakukan padaku!” gumam Tara.
Tara tidak tahan lagi melihat Nael dan anak yang dibawanya terus terlihat di depan matanya. Hidupnya terasa menyakitkan. Tara lebih senang tidur, karena dengan begitu dia bisa lari dari kenyataan bahwa hidupnya hancur berantakan. Rasanya sangat menderita ketika terbangun dan menyadari kenyataan apa yang tengah terjadi.
“Aku, atau dia yang pergi?” ancam Tara.
“Tara, aku tidak pernah berpikir untuk membandingkan kamu dengan anak itu..” Nael berusaha menenangkan Tara.
“Beri aku alasan kenapa kamu membawanya?”
“Aku menyelamatkannya.. dia satu-satunya manusia yang bisa kuselamatkan, semua orang di suku itu habis dibantai tak bersisa.”
“Kenapa tidak kamu tinggalkan saja disana?”
“Itu sama saja dengan membunuhnya, Tara. Rumah kita besar sekali, kamu bahkan tidak perlu melihatnya, cukup berikan saja satu ruang untuknya berteduh di rumah ini.”
“Aku benar-benar berharap kamu membawanya ke tempat lain, tidak di rumahku.”
“Tara, aku tahu hatimu tidak setega itu.”
“Dan aku menyesal kenapa aku memiliki hati yang lemah, disini aku bernapas pun menderita memikirkanmu, disana kamu asik memadu kasih dengan ibu dari anak itu!”
“Tidak seperti yang kamu bayangkan, Tara.. anak ini bukan anakku. Tapi anak permpuan itu dan suaminya yang mati ketika berperang.”
“Itu lebih bagus, alasan yang kuat bagiku untuk menyingkirkannya,” Tara benar-benar menutup dirinya, “Beli saja rumah yang baru, hartamu masih begitu banyak, dan tinggallah kamu dan anak itu disana, jangan mengganggu pengelihatanku. Tidak cukupkah kamu menyakiti perasaanku?”
“Aku tidak ingin meninggalkanmu lagi, Tara..” Nael berkeras untuk tetap bersama Tara, dia tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi.