Perempuan Gagal

Anifa Hambali
Chapter #1

Luka Itu Bernama Cinta

Hari ini sikap Mas Fikri begitu aneh. Pandangannya padaku terasa sinis dari pagi saat berpapasan di lorong Fakultas Hukum, sampai siang ini dia mengajakku ngobrol di ruang kelas yang sudah kosong di lantai 4 untuk berbicara empat mata pun ia tetap dingin.

“Ada hubungan apa kamu sama Damas ?” selidik Mas Fikri dingin tanpa menatapku.

Ku jawab apa adanya sembari memandangi punggung Mas Fikri dengan penuh selidik  “Sebatas hubungan organisasi di pers mahasiswa saja Mas, kenapa?”

“Kamu gak usah bohong, jangan main-main sama aku ya. Kabar itu sudah menyebar ke sebagian jurusanku. Kamu sadar kan kalau statusmu itu sudah tunanganku?” tuding Mas Fikri membuatku mengreyitkan dahi karena tanpa data.

“Banyak anak kelas yang bilang kalau Damas diam-diam menyimpan banyak fotomu dan dekat dengamu” tudingnya tanpa jeda.

“Demi Allah Mas, aku gak ada kedekatan apapun dengan Mas Damas, sebatas senior aku di Persma. Dan itupun kalau bertemu ya ngobrol soal jurnalistik bareng sama anak-anak tidak berduaan. Tidak ada yang lain” jelasku agak panjang agar Mas Fikri berusaha mengerti.

Mas Fikri masih membelakangiku dengan tangan menelengkup didepan dada, sesekali ia pukul meja untuk melampiaskan rasa kesalnya karena prasangka-prasangka yang ingin dia konfirmasi padaku agar berkata iya, namun faktanya memang aku tidak memiliki hubungan apapun dengan Mas Damas. Dia hanya senior di Lembaga Pers Mahasiswa kampus, dan kebetulan juga satu kelas sama Mas Fikri.

Kabar angin tentang Mas Damas dan aku memang cukup santer terdengar di Fakultas Hukum. Sebelum aku bertunangan dengan Mas Fikri, jauh sebelum kenal bahkan, Mas Damas sudah menaruh hati padaku namun belum berani mengungkapkannya sampai aku sudah dilamar orang lain. Tak heran jika berita miring juga pasti berhembus, mengingat Mas Fikri dan Mas Damas adalah teman satu kelas, pernah dekat sebagai sahabat dan kini menjadi rival yang sama-sama kuat.

“Mas, kamu percaya aku kan?” tanyaku sembari mendekati Mas Fikri dengan harapan ada jawaban baik untuk membangun hubungan yang saling yakin dan percaya.

“Lihat ini! ” Mas Fikri menunjukkan beberapa tangkapan layar dari whatsapp group kelasnya yang berisi ledekan dengan mengirim foto Mas Damas dan aku yang terlihat akrab makan bakso berdua.

“Kamu masih mau mengelak? Laki-laki mana yang gak akan marah kalau melihat calon istrinya kayak begini hah!” Mas Fikri semakin murka.

Belum sempat aku menjelaskan terkait foto yang ditudingkan padaku itu, tangan kekar Mas Fikri menamparku kemudian mendorong keras hingga kepalaku terbentur siku meja dosen yang berlapis besi dan kaca. Tubuhku langsung tersungkur dengan darah segar bercucuran membasahi jilbab warna hijau sambil merintih kesakitan, aku terus berusaha menjelaskan pada Mas Fikri bahwa tuduhannya tidak benar. Sebelum akhirnya benar-benar memejamkan mata, dengan lemah aku berusaha menjelaskan “Itu foto lama 3 tahun lalu saat aku masih mab.. maba mas”

Aku tak sadarkan diri karena sobekan dipelipisku begitu lebar, darah segar bercucuran tanpa henti. Mas Fikri bingung dan panik ketakutan jika terjadi apa-apa denganku. Tanpa berpikir dua kali, Mas Fikri membopongku turun dari lantai empat. Setiba di tangga lantai tiga, Mas Fikri mulai berteriak meminta pertolongan siapa saja yang bisa mendengarkannya. Dia ingin membuat semua orang tau seolah terjadi kecelakaan padaku di tangga. Beberapa mahasiswa yang duduk diselasar depan kelas lantai tiga sigap mengenali siapa yang tengah dibopong Mas Fikri dengan darah segar yang terus menetes dilantai. Dengan cepat aku dilarikan ke rumah sakit kampus yang lokasinya tidak jauh dari Fakultas Hukum untuk mendapatkan pertolongan pertama dengan cepat.

***

Cerita naasku di Fakultas Hukum terdengar santer di seluruh kampus. Semua teman-temanku khawatir dan menunggu hasil dari dokter yang sudah 30 menit di ruang UGD. Daniza sahabat dekatku menaruh curiga pada Mas Fikri kalauyang menimpaku saat ini pasti karena ulahnya. Daniza tidak melihat wajah khawatir dari raut muka Mas Fikri meski sekilas orang melihat bahwa dia turut berduka karena kejadian yang menimpa tunangannya. Kemeja berwarna abu muda yang dikenakan Mas Fikri penuh darah segar yang membuat Daniza makin berfikiran negatif padanya. Karena sejak awal Daniza kurang setuju dengan keputusanku menerima lamaran Mas Fikri. Satu jam kemudian dokter di UGD keluar dan menjelakan.

“Teman kalian tidak papa. Sobekan dipelipisnya memang agak lebar dan dalam, butuh sepuluh jahitan. Karena itu darahnya keluar banyak. Biarkan teman kalian istirahat dulu. Kalian boleh temani sampai dia sadar” jelas Dokter Salimah menenangkan.

“Baik, terima kasih dok” lega Daniza mendengar penjelasan dokter Salimah.

Karena yang menunggu tidak boleh banyak orang, maka yang masuk ke ruangan untuk menemaniku sampai sadar adalah Daniza dan Mas Fikri. Teman yang lainnya masuk kelas karena masih ada mata kuliah lanjut sampai nanti sore.

Tidak ada percakapan apapun antara Daniza dan Mas Fikri. Daniza juga tidak ingin bertanya apapun pada Mas Fikri yang sudah tidak disukainya sejak dulu awal semester satu kuliah. Bukan tanpa alasan, Daniza tidak menyukai sikap kasar Mas Fikri yang suka membentak dan kadang di satu waktu terlihat tempramen. Itu semua bahkan sangat terlihat jels saat Ospek. Meski tidak satu fakultas dengan Mas Fikri, sikap senioritas yang sok itu sudah banyak dibicarakan mahasiswa baru fakultas hukum yang juga teman Daniza.

“Aku gak ngerti Nav, apa sih yang kamu lihat dan maklum dari laki-laki model Mas Fikri ini” gumam Daniza dalam hati sambil memegang tangan sahabatnya yang masih lemah. Lagi-lagi Daniza melihat Mas Fikri dengan penuh kejanggalaan.

 Ku buka mata dan minta air. Dengan cekatan Mas Fikri mengambilkan air dan membantuku minum dengan hati-hati.

“Alhamdulillah kamu sudah sadar” tutur Mas Fikri penuh perhatian.

“Aku ingin pulang dan istirahat di rumah” pintaku sembari menoleh ke arah Daniza.

Sebelum ku lanjutkan berkata, Mas Fikri memotong pembicaraanku karena takut jika aku bercerita banyak pada Daniza “Kalo gitu aku anter pulang”.

“Aku dianter Daniza saja Mas, hari ini kan Mas Fikri ada ngasdos”

“Gak papa kok bisa izin”

Melihat sorot mataku yang berat seakan memberi Daniza kode agar dia saja yang mengantarkan pulang, Daniza langsung nyeletuk sebuah alasan “Gak papa Mas, biar Daniza saja yang anter pulang Navya. Soalnya sekalian mau kasih titipan Mama buat Ibunya Navya. Biar sekalian” 

“Hmm, yaudah kalau memang begitu. Aku minta tolong dan nitip Navya ya Za. Setelah selesai ngasdos nanti aku ke rumah”

Akhirnya Mas Fikri menyerah dan membiarkanku diatar Daniza pulang. Saat berjalan menuju mobil Daniza, terlihat Mas Fikri menggandengku begitu kuat karena kondisi yang masih lemah membuat langkahku berat. Rasa janggal Daniza agak tertepis karena sikap perhatian Mas Fikri sebagai tunangan yang pastinya khawatir dan ingin terus bersama Navya. Namun, perasaan Daniza tidak enak karena dia merasa kalau aku sedang tidak ingin bersama Mas Fikri. Setelah posisi dudukku di mobil nyaman, Daniza melajukan mobilnya santai menuju rumahku yang tidak jauh dari kampus.

Sesekali Daniza melihat sahabatanya yang masih memejamkan mata mulai masuk mobil sampai ditengah perjalanan, Daniza pun tidak ingin membangunkanku untuk mengintrogasi kejadian yang sebenarnya. Bagaimana bisa sahabatnya mengalami hal seperti ini bersama tunangannya. Banyak pertanyaan yang muncul di benak Daniza sampai mobil berhenti didepan rumahku.

Rumahku memang sepi seperti basanya, karena kedua orang tuaku masih di warung, kedua adikku punya aktivitas masing-masing. Pelan-pelan Daniza membangunkanku mengajak turun dari mobil untuk segera merebahkan diri di kamar.

“Za, makasih banyak ya” ucapku setelah membenarkan posisi tidur dengan baik.

“Ah, kamu kayak sama siapa aja. Yang penting kamu baik-baik aja dan sehat. Aku udah seneng. Bikin khawatir aja deh” cerocos Daniza seperti biasa.

Lihat selengkapnya