Perempuan Gagal

Anifa Hambali
Chapter #2

Setiap Luka Pasti Sembuh

Yakinlah, luka apapun dalam dirimu pasti akan sembuh. Tuhan tidak akan sekejam itu membuat luka tanpa obat. Tidak mungkin memberikan lara tanpa bahagia. Suatu hari nanti, yakinlah akan ada senyuman di balik tangismu. Ada cinta dibalik rasa sakitmu. Tetaplah tanam benih kasih dan ketulusan dalam hatimu, duhai perempuan.

Aku benar-benar tidak pernah membayangkan sebelumnya akan bernasib naas ditangan orang yang aku cinta. Seringkali aku membaca artikel dan postingan di media sosial tentang abusive relationship, ternyata aku sendiri yang mengalaminya. Awalnya ku pikir rasa cemburu membuat orang berubah menjadi agak tempramen, namun siapa tau hati orang yang paling dalam. Ternyata aku belum benar-benar mengenal pasangan yang akan aku nikahi. Karena itu aku berani untuk melawan karena bertahan dalam hubungan yang abusive sangat tidak menguntungkan.

Pikiran Daniza semakin kacau karena di mobil hanya ada dia dan aku yang masih tak sadarkan diri. Tiba di rumah sakit, Daniza langsung meminta pertolongan agar aku segera dirawat dengan baik. Daniza cukup tenang dan mulai mengatur nafasnya agar bisa berfikir jernih, tindakan apa yang akan dilakuan setelah ini. Yang pasti dalam pikirannya ingin memberi pelajaran laki-laki bajingan seperti Mas Fikri. Amarah Daniza meletup ketika melihat kondisiku saat di apartemen Mas Fikri degan keadaan yang mengenaskan. Daniza tidak habis pikir bagaimana bisa tunangan memperlakukan perempuannya sekejam itu yang minggu depan jelas akan melangsungkan pernikahan.

“Kondisi teman anda sudah baik lukanya. Tapi dia harus tinggal dirumah sakit dulu untuk memulihkan kondisinya yang masih lemah.” Terang dokter jaga yang menangani.

Aku sudah dipindahkan ke kamar pasien, Daniza menemaniku sampai siuman. Sesekali Daniza menangis melihat sahabatnya yang bernasib malang ini. Ketulusan cintanya dihargai dengan kekejian seperti ini. Daniza tidak ingin mengabarkan yang sebenarnya di tengah malam ini kepada kedua orang tuaku, karena tidak ingin orang tuaku panik. Besok adalah waktuyang tepat untuk berbicara pada kedua orang tua agar bisa menerima kenyataan dengan baik.

“Bukk. Ibukk” rintihku terus memanggil nama Ibu

“Aku di mana ini?”

“Kamu di rumah sakit sama aku Nav. Tenang saja kamu aman”

Mendengar jawaban Daniza, aku menangis sejadinya. Dia tidak hanya terluka fisik, tapi psikis juga terluka dengan perlakuan tunangan yang nyaris merenggut tubuhnya sebelum hari pernikahan tiba.

“Maaf ya Nav aku datang agak terlambat.”

“Gak papa kok Za. Ini salahku. Apa Ibuk dan Bapakku tau kejadian ini?” Aku mulai cemas jika kedua orang tuaku tau kejadian memilukan dan memalukan ini.

“Aku gak cerita apa-apa sama Om Tante, aku Cuma bilang kalau kamu nginep di ruko sama aku. Aku berencana menceritakan semuanya besok agar semua tetap tenang”

Aku kembali menagis tanpa mengatakan apapun pada Daniza.

“Nav, kamu sudah aman sama aku. Jangan takut. Aku akan mendengarkan semuanya. Bicaralah apapun jika kamu ingin berbicara. Perempuan berhak menuntut keadilan dari ketidakadilan yag kamu alami. Kamu berhak bahagia.” Tutur Daniza sembari memelukku yang semakin menjadi tangisnya.

***

Sepulang dari rumah sakit, aku menjadi pribadi yang agak pendiam. Mengurung diri dalam kamar adalah cara terbaik saat ini untuk menghindari pertanyaan atau bahkan tetangga yang selalu ingin tau kabar dukaku untuk menjadi bahan gosip baru. Aku hanya keluar kamar jika sholat dan makan. Bicara sama Bapak Ibu juga seperlunya. Kedua orang tuaku masih maklum dan membiarkanku untuk menenangkan diri sejenak sampai aku benar-benar bisa diajak bicara. Sebelumnya Daniza sudah menceritakan semua kejadian yang aku alami di kampus sampai di apartemen Mas Fikri. Hati orang tuaku jelas terguncang mengetahui putri sulungnya diperlakukan seperti itu. Rasa marah dan tidak terima tentu ada. Pernikahanku dan Mas Fikripun langsung dibatalkan. Konsekuensi apapun akan diterima tanpa rasa takut. Kedua orang tuaku tidak ingin anaknya mati ditangan suaminya kelak jika dibiarkan begitu saja. Meski banyak cibiran dari tetangga, kedua orang tuaku tidak menghiruakannya. Meski keluargaku miskin, tapi kita punya harga diri dan keyakinan besar, jika kita tidak berbuat jahat maka jangan takut atau malu.

“Daniza pulang dulu ya Om Tante, kalau perlu apa-apa. Jangan sungkan langsung calling Daniza. Siapa tau Navya ingin pergi kemana agar pikirannya lebih tennag” Daniza menawarkan bantuan sebelum pamit.

Sepulang Daniza, Ibu Khoiriyah menghampiri kamarku yang tidak dikunci. Sudah menjadi kebiasaanku yang memang tidak pernah mengunci kamar agar memudahkan Ibu untuk membangunkannya sholat subuh.

“Ceritalah pada Ibu apapun. Kamu anak Ibu dan apapaun yang terjadi Ibu dan Bapak akan selalu mendukungmu. Ibu tidak akan pernah marah, karena Ibu lebih percaya kamu. Kamu anak Ibu yang sedari kecil Ibu rawat, didik dan besarkan.” Tutur Ibu dengan mengusap kepalaku yang sedang berbaring diatas kasur dengan sorot mata kosong.

Lihat selengkapnya