Nadilla tersenyum-senyum membaca chat dari kekasihnya, Anggara. Mereka baru saja jadian dua hari yang lalu. Sekarang lagi panas-panasnya untuk memberikan perhatian-perhatian kecil. Namanya juga hubungan yang masih baru, kembang-kembang cintanya masih segar mekarnya. Nadilla asyik-asyik saja diatas ranjangnya bergolak keknan dan kekiri. U...romantis banget sih ayang Anggara, jadi kangen deh. Gadis itu memejamkan matanya fantasinya mulai berjalan, bibirnya tertarik membentuk senyuman.
"Duk, aduh." Nadilla membuka matanya kesal, tadi ayang Anggara sudah mau menyuapkan es krimnya. Semuanya jadi batal karena lemparan bantal yang membuatnya membuka mata. Gadis itu segera meraba kepalanya yang terkena lemparan bantal. Nadia mendongakkan kepalanya menatap orang yang tadi melemparnya itu. Gadis itu menelan ludah dan tersenyum paksa.
"Mamih, kalau otak Nadilla jadi bodoh gimana? Masa aku cantik-cantik, tapi bodoh?" Perempuan yang disebutnya mamih itu hanya memutar bola matanya. Dirinya sudah sangat hafal dengan semua tindak tanduk Nadilla.
"Mau jadi bodoh dari mananya? Kamu memang bodoh, ngapain senyum-senyum sendiri di depan gawai?" Mamih menatapnya tajam, Nadilla menelan ludah. Aduh, ini bisa mati kalau jujur tapi kalau bohong lebih cepat matinya. Tidak ada keberuntungan jadinya.
"Heheheheh. Mamih itu hal biasa kok untuk anak-anak milenial seperti aku." Mamih mengangkat bahu, dirinya tidak peduli.
"Aneh, kamu kalau hal-hal yang tidak penting dianggap biasa hal-hal yang penting dianggap tidak biasa dan membosankan. Simpan ponsel kamu, kamu belum menyiram tanaman di belakang rumah sejak tiga hari yang lalu. Kalau kamu lalai lagi jatah makan berkurang dan uang jajan untuk satu minggu tidak ada untuk kamu." Setelah mengucapkan semua itu mamih melangkah keluar meninggalkan Nadilla. Gadis itu bangkit dengan malas-malasan, keluar dari kamarnya menuju halaman belakang.