Perempuan Ilalang

Mira Pasolong
Chapter #1

Bab I. Meramu Pilu

“Sa, masuklah. Sudah sore.” Suara Kininnawa berat. Lelaki yang akrab disapa Kin itu khawatir pada Sa. Sa menggeleng lemah, tanpa bermaksud menoleh ke sumber suara tersebut.

“Sa, nanti masuk angin.” Tekanan suara Kin meningkat.

“Biarkan saya di sini dulu. Tahu ‘kan, betapa saya selalu takjub dengan desir ilalang menjelang senja?” jawab Sa, masih tak menoleh. Kin menyerah, melangkahkan kakinya ke teras rumah. Ia mengamati Sa dari teras. 

Perempuan Ilalang. Begitu Kin menggelari Sa. Awalnya Kin tak merasa terganggu dengan kebiasaan Sa yang selalu bercengkerama dengan ilalang. Pagi dan sore hingga senja hari adalah waktu-waktu yang sangat menakjubkan bagi Sa. Di waktu-waktu itu, jika ingin bertemu Sa, carilah ia di padang ilalang yang tumbuh subur di pekarangan samping dan depan rumahnya. Atau kalau tidak, maka ia pasti akan sedang duduk di teras samping sambil mengetik dan menyeruput teh, ditemani desir ilalang.

Lama-lama Kin merasa ada yang salah dengan hobi tak lumrah Sa. Kin mulai mengamati Sa. Sesekali menegurnya bila melihat Sa begitu menyatu dengan ilalang. Kin tidak ingat persis sejak kapan Sa gemar menghabiskan waktu bersama ilalang. Bahkan Sa sanggup berjam-jam menulis di sana, di tengah liukan ilalang yang diterpa angin senja.

“Saya perempuan ilalang. Seperti katamu dulu. Lantas kenapa sekarang selalu mempermasalahkannya?” protes Sa saat Kin mencoba mempertanyakan kebiasaan anehnya tersebut. Lalu akan meluncurlah cerita dari bibir Sa tentang awal mula ia menyukai ilalang. Sa terkagum-kagum dengan sifat ilalang yang tetap setia memupuk rindu pada angin, walaupun saat angin datang, ilalang justru akan merunduk. Kekaguman Sa bertambah, saat angin berlalu dan ternyata ilalang mampu berdiri kokoh kembali seperti sebelumnya. Bagi Sa, ilalang adalah gambaran kesetiaan, kesabaran, ketegaran dan keberanian. 

“Tapi dulu tak seperti ini, Sa. Dulu kau hanya menikmati ilalang dari teras rumah. Tak pernah berminat untuk mendekatinya, apalagi membelainya,” bantaj Kin sambil membersihkan darah dari tangan Sa. Mungkin karena emosi, Sa mengelus ilalang dari ujungnya sehingga pinggir daun yang tajam melukai tangan Sa. Namun Sa tak mengeluh. Ia justru gembira.

“Lihatlah betapa beraninya ilalang. Ia akan melukai siapa saja yang mengganggunya, walau kelihatannya ia rapuh. Ia bahkan dengan sabar dan berani mampu hidup di tengah padang, bermandi panas matahari, sendirian,” katanya bangga. Kin tak menanggapi.

Kin bukan tidak tahu bahwa perempuan yang dicintainya itu menyukai ilalang. Namun Kin awalnya mengira tak ada yang salah dengan itu. Terlebih Sa hanya sesekali menikmati eksotisnya liukan ilalang yang diterpa angin. Kebiasaan Sa menjadi ganjil di mata Kin setelah prahara yang menimpa rumah tangga mereka. Saat Kin bermain api, yang pada akhirnya membakar kebahagiaan mereka.

“Biarkan saya bersama ilalang. Tolonglah! Padanya saya banyak belajar, agar rumah tangga kita tetap bernama rumah tangga,” katanya suatu malam, kala luka di hati Sa sedang memerah darah. Kin tertegun. Tak mampu mencerna kalimat Sa.

“Sa, saya minta maaf. Saya khawatir dengan apa yang kau lakukan akhir-akhir ini.” Suara Kin bercampur penyesalan dan kekuatiran. Namun Sa menggeleng mantap.

“Lihatlah betapa hebatnya ilalang! Saya ingin menjadi ilalang untukmu. Agar tetap tegar berdiri di sisimu, meski nyeri telah kau hadirkan. Agar tetap sabar mendampingi, meski luka telah terukir. Agar tetap setia membingkai rindu, meski kau telah menitip rindu pada hati yang lain. Dan agar saya tetap berani menghadapi hidup yang mungkin saja suatu saat akan saya jalani hanya bersama sepi. Tanpamu.“ Duh, hancur hati Kin mendengar perkataan Sa. Nada getir lewat getar suaranya membuat Kin spontan meluruhkan badan dan bersimpuh di kaki Sa. Begitu pedih sayatan yang diukir Kin di hati Sa. 

Namun itu lebih setahun lalu. Ketika luka itu masih sangat baru. Kini, Kin merasa, mestinya Sa menghentikan kebiasaannya itu. Sebaliknya Sa merasa, hanya dengan itulah ia tetap bisa survive.

“Jika masih ingin melihat senyumku, biarkanlah saya tetap seperti ini,” pinta Sa. Kin trenyuh. Sampai kapanpun Kin tak akan pernah bosan menikmati senyum manis di sudut lengkung bibir Sa. Senyum termanis yang pernah dilihatnya. Senyum itu pulalah yang membuatnya jatuh cinta, dan meminang Sa saat Sa baru saja menjadi mahasiswa.

***

Sa menatap layar laptopnya tanpa kedip. Sebuah pesan masuk di messenger 'pengen diskusi dengan Sa'. Pesan dari seseorang yang sudah lama dikenal, tapi sudah lama tidak bertemu.Teman kuliah. Pun saat kuliah, jika berpapasan, mereka hanya bertegur sapa dengan seulas senyum. Karena itulah Sa agak kaget mendapatkan inboks tersebut. 

Boleh. Tentang apa?” Setelah beberapa lama termenung, Sa membalasnya. Inboks balasan masuk hanya selang satu detik. Sa tak sempat lagi membacanya, karena Kin sudah berdiri di belakang dan memapahnya masuk rumah.

“Sudah Maghrib, Sa. Ayo kita masuk,” katanya sambil membimbing Sa. Kali ini Sa tak menolak. Dinikmatinya bersandar di bahu bidang Kin. Getir menyakitkan yang kadang melintas coba dibungkamnya. Kin adalah suaminya. Sa berhak untuk bermanja dan mendapatkan kasih sayang darinya. Ada sisi lain hati Sa yang meronta. Kin sudah tak pantas disandari, tetapi sisi hati Sa yang dominan tetap mengatakan tak ada yang berubah. Kin tetaplah memperlakukannya dengan penuh cinta. Minimal untuk saat ini. Entahlah nanti setelah Kin diperhadapkan pada berbagai tuntutan dari dua perempuan yang coba diperlakukannya seadil mungkin.

Sa menenggelamkan hatinya pada kepasrahan, kala bersujud di Magrib itu. Kin sudah bergegas ke masjid setelah mengantar Sa ke dalam rumah. Air bening di mata Sa menderas. Sa tak mengerti mengapa sekarang Kin mempermasalahkan kesukaannya pada ilalang. Mengapa Kin tak mencoba untuk berempati padanya? Setidaknya sesekali menemaninya bercengkerama dengan ilalang.

Ah, itu terlalu berlebihan. Sa bukanlah perempuan penuntut. Kin sudah banyak berkorban untuknya. Kin bahkan sudah mengorbankan karirnya yang gemilang sebagai arsitek hanya demi Sa. Ya, demi keinginan Sa yang ingin menempati rumah kakeknya di atas puncak bukit, di tengah padang ilalang. Puncak bukit yang terletak pada sebuah desa terpencil. Untung saja dua tahun belakangan ini, dua tower jaringan seluler sudah berdiri gagah, sehingga akses telepon dan internet tidaklah sesulit sebelumnya. Tapi tetap saja, Kin tak bisa sekreatif dulu. 

Sa tahu, pekerjaan Kin sekarang, membeli hasil perkebunan dan pertanian warga kampung tidaklah sepenuhnya dilakoni Kin dengan hati. Walau Kin selalu berusaha untuk menikmatinya.

“Tidak usah dipikirkan. Saya senang melakukan ini. Setidaknya saya bisa membantu para petani di kampung kita,” ucap Kin suatu kali, saat Sa mengungkapkan penyesalannya telah memisahkan Kin dari karir yang dicintainya. 

Warga kampung terbantu dengan adanya Kin dan Sa. Sebelumnya mereka menjual hasil kebun mereka kepada rentenir dengan harga yang sangat murah. Rentenir-rentenir menekan harga sedemikian rupa. Warga tak punya pilihan lain karena satu-satunya angkutan ke kota adalah dengan menggunakan bis mini milik rentenir tersebut. Dan aturannya, warga dilarang menaikkan hasil pertanian ke atas mobil. Maka rela tak rela, mereka harus menjual hasil pertanian terlebih dahulu, sebelum ke kota untuk belanja.

Kehadiran Kin merupakan ancaman bagi rentenir. Tahun pertama Kin berada di kampung, saban malam didatangi orang tak dikenal dengan berbagai modus. Ada yang minta pinjam parang, ada yang sekedar singgah pinjam korek buat menyalakan rokok, dan ada pula yang sedikit berterus terang, melarang Kin berdagang di kampung itu, hingga mengancam akan membakar padang ilalang di sekeliling rumah Kin, agar rumahnya ikut terbakar. Kegigihan Kin dan kesabaran Sa-lah sehingga akhirnya para suruhan rentenir itu mundur teratur. Sekarang, Kin menjadi satu-satunya pedagang di kampung itu. Kin tak mengambil untung banyak. Baginya yang penting petani senang dan dirinyapun mampu memberikan penghidupan yang layak bagi keluarganya.

“Saya beruntung memilikimu, Sa. Sungguh. Gelimang rupiah yang saya miliki dulu waktu masih menangani berbagai proyek, ternyata sama sekali tak menarik bagimu. Bahkan kau nampak bahagia setiap kali menerima uang pemberianku yang hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari kita.

“Toh, kita memang hanya butuh makan dan minum, ‘kan? Hasil jerih payahmu cukup untuk itu. Kita masih rutin bersedekah. Kita pun masih bisa menabung. Honor tulisanku bahkan semuanya ditabung. Lantas kenapa saya harus mengeluh? Saya bahagia dengan yang kita jalani sekarang. Sungguh,” kata Sa. Suara serak basahnya begitu seksi di telinga Kin, membuat Kin refleks mendaratkan ciuman di kening Sa. Begitulah hari-hari mereka. Terjalin bahagia dibalut kesederhanaan. Kin yang lahir dan besar di kota, dan Sa yang tak sampai menghabiskan masa kanak-kanaknya di desa, kini menyulam hidup di desa, pada sebuah kampung kecil yang bahkan aliran PLN pun baru beberapa tahun belakangan ini menjangkaunya. 

Bunyi androidnya menyadarkan Sa dari lamun panjang yang baru saja mampir mengganggu zikirnya. Sa bergegas merapikan mukena dan sajadah, lalu meraih telepon genggam yang tersimpan di rak di sampingnya. Lagi-lagi sebuah inboks. Dari Rala, Rawallangi nama lengkapnya. Orang yang senja tadi mengiriminya inboks. Sa ingat, masih ada satu inboks dari Rala yang belum dibaca. Sa segera membukanya. 

Lihat selengkapnya