Perempuan Ilalang

Mira Pasolong
Chapter #2

BAB II. INSIDEN ILALANG

“Sa, kita babat sedikit ilalangnya, ya. Takutnya jadi sarang ular.” Pagi itu pelan sekali suara Kin. Ia tak ingin meyinggung hati Sa, walau Kin tidak yakin. Ilalang bagi Sa hampir sama pentingnya dengan Kin. Ini mungkin berlebihan, tapi reaksi Sa selanjutnya sungguh di luar dugaan Kin. Sa tidak berteriak histeris menolak, tidak pula ngambek atau mencoba membujuk Kin. Nada suara Sa datar, tetapi dalam saat menanggapi usulan Kin.

“Silahkan saja, jika senyumku sudah tak penting lagi di rumah ini.” Sa mengucapkannya tanpa ekspresi. Kin salah tingkah. Kembali sebersit penyesalan singgah di hatinya, kenapa ia harus selalu merasa tak nyaman dengan kebiasaan Sa? Bukankah seharusnya Kin memaklumi betapa ilalang telah menyatu dalam diri dan hati Sa? Sa adalah ilalang, dan ilalang adalah Sa. Sejak masa kanak-kanaknya di kampung ini. Apakah Kin terpengaruh perkataan Lili yang selalu menganggap kebiasaan Sa adalah suatu kelainan? Tapi tahu apa Lili tentang Sa?

Perlahan Kin mendekati Sa yang sedang menyirami tanaman. Bebungaan di sepanjang sisi jalan menuju teras, masamba dan kemuning sedang memamerkan keindahan bunganya. Di samping teras, kamboja pun tak ingin kalah. Sementara di pekarangan belakang, tanaman bumbu dalam pot tumbuh subur berkat tangan dingin Sa. Inilah yang membuat Sa tidak menerima jika dikatakan lahan kosongnya menjadi tidak produktif. Toh lahan yang lain dipergunakan Sa sebaik mungkin.

“Maafkan saya, ya. Tidak semestinya saya terpengaruh bisikan-bisikan dari luar,” bisik Kin di telinga Sa sambil memeluk pinggang Sa dari belakang. Sa terdiam. Menelaah kalimat Kin.

“Bisikan, ya? Hmmmm saya tahu sekarang. Tolonglah, Kak. Rumah ini rumah kita. Rumah tangga ini kita yang jalani. Jangan libatkan siapapun, termasuk orang yang dekat di hati kita sekalipun.” Tegas sekali suara Sa. Kin melempar pandangan ke hamparan ilalang yang sedang meliuk lembut.. Nada suara Sa mengandung cemburu. Kin tahu itu. 

“Maafkan saya. Tidak akan ada pembabatan ilalang. Cukup daun-daun keringnya yang akan saya siangi,” kata Kin akhirnya. Sa tak menanggapi. Mendadak Sa berdiri dan melangkah menuju hamparan ilalang di halaman depan. Di tangannya tergenggam sabit yang baru saja dipakainya menyiangi tanaman. Kin bergegas mengejarnya. Kin khawatir Sa kalap dan menghancurkan semua ilalang tersebut..

Sa mempercepat langkahnya. Di depan rumput ilalang, Sa berhenti, memegang lembut helai bunganya, lalu mengedarkan pandangan ke seluruh lahan. Ilalang itu bergerak gemulai seakan mengucapkan selamat datang pada Sa. Sa memandang sabit di tangan dan bersiap mengayunkannya pada rumpun ilalang yang terdekat darinya.

“Sa, jangan.” Dengan sigap Kin menahan pergelangan tangan Sa hingga sabit di genggamannya terjatuh.

“Saya minta maaf, Sa. Saya janji, mulai hari ini tidak akan pernah lagi mempermasalahkan hal ini.” Kin mengatur nafasnya yang memburu. Sa tertunduk, melorotkan tubuhnya ke rerumputan. Dipungutnya sabit yang sempat terlepas dari tangannya.

“Tidak masalah kalau tidak suka dengan ilalang ini. Biar kedua tangan ini yang melakukannya sendiri, Kak. Saya tidak akan tega jika ada orang lain yang menyentuhnya untuk merusak,” kata Sa. Sa berdiri. Sabit sudah berada kembali dalam genggamannya. Kali ini ia memegangnya lebih kuat.

Kin memeluk Sa dari belakang. Mencoba menghalangi langkahnya. Sa berontak. Kin mempererat pelukannya. Tak ada yang mau mengalah, hingga akhirnya Sa kelelahan dan terduduk lemas.

“Kakak tega.” Lemas suara Sa, berbaur isak tertahan.

“Tolong jangan alirkan air matamu untuk kebodohanku ini, Sa. Saya minta maaf.” Kin kembali minta maaf. Sa terdiam, mencoba mengatur nafas yang terasa sesak. Sekuat tenaga Sa berusaha menahan agar air matanya tak tumpah, tapi tetap saja, air bening itu pada akhirnya menganak sungai. Nyeri yang tak pernah terkubur sempurna itu, kini hadir lagi. Mengoyak-oyak pertahanan batinnya, meremukkan jiwanya. 

“Biarkan saya survive dengan cara saya sendiri. Tak ada yang dirugikan. Semua orang juga tahu itu.” Selepas berkata seperti itu, Sa melesat masuk ke dalam rumah, menuju kamar dan menguncinya dari dalam. Tak dipedulikannya Kin yang terus mengetuk pintu sambil memanggil namanya dengan penuh kekuatiran.

***

Sejak insiden ilalang hari itu, Sa belum sepenuhnya mampu menghalau dukanya. Ia masih merasakan nyeri. Kenyataan bahwa Kin melakukan itu padanya karena terpengaruh oleh Lili sungguh merupakan suatu pukulan baginya. Selama ini Sa sangat yakin, untuk selengkung senyum miliknya, Kin akan melakukan apa saja. Tapi ternyata, kali ini Sa salah. Di hati Kin, Sa tidak lagi menempati posisi seistimewa sebelumnya. Ada hati lain yang tak mungkin diabaikan Kin. Mengingat itu, sungguh membuat luka di hati Sa memerah kembali. 

“Ya Allah, kenapa mesti ia hadir di antara kami?” Tangis tengah malam Sa kembali menyayat, setelah beberapa bulan ini tak pernah lagi ada tangis sesedih itu. Duh, sungguh, nyerinya sama dengan saat Sa pertama kali mengetahui Kin telah menyimpan nama lain di hidupnya. 

Ingatan Sa melayang ke suatu malam, di sepertiga malam, saat mereka baru saja selesai tahajjud bersama. Dengan berlinang air mata, Kin menceritakan apa yang telah dilakukannya tiga bulan terakhir ini. Ia meminta maaf, memohon agar Sa tak meninggalkannya karena khilaf yang dilakukannya. Hati Sa hampa saat mendengar semua penuturan Kin. Hal yang sama sekali tak pernah terlintas di hati dan pikiran Sa.

“Saya pikir Kakak bahagia.” 

“Saya bahagia, Sa. Sungguh.”

“Mustahil. Jika bahagia, tak mungkin melakukan ini.”

“Percayalah. Saya mencintaimu, dan saya bahagia denganmu.”

Sa menggeleng. Tak mengerti jalan pikiran Kin. Jika memang Kin mencintainya, dan bahagia dengannya seperti yang dikatakan, mengapa ia mesti melakukan ini padanya? Tidakkah rasa cinta yang mereka punya mampu menjadi filter bagi Kin agar mampu menahan diri dari godaan bernama perempuan? Ah, terlalu perih nyeri yang dirasa Sa, hingga malam itu, bahkan tak setetes airpun mengalir dari matanya. Sa justru menatap Kin tepat di kedalaman retina matanya. Berharap Sa menemukan canda di sana. Namun tak secuil kebohongan pun ditemukan. Kin mengatakan yang sebenarnya. Mata kelam itu semakin kelam menanggung rasa bersalah dan penyesalan. 

“Lantas apa mau Kakak sekarang?” Serak suara Sa. 

Lihat selengkapnya