“Saya tak menuntut harta yang banyak darimu. Saya hanya minta diperlakukan dengan baik. Tapi apa? Kamu hanya sibuk mengurus penulis kampunganmu itu.” Lili menyambut kehadiran Kin di depan pintu dengan kalimat panjang menusuk. Kin tak menjawab. Ia melangkah masuk dan menghempaskan dirinya di sofa. Lili masih saja mengomel.
“Sekali lagi saya minta maaf dan berjanji akan dua malam di sini. Lagi pula, bukankah kemarin kau tidak keberatan?” Kin kemudian menanggapi Lili ketika sudah lelah mendengar omelan tak berujungnya. Suaranya tetap tenang.
“Kemarin itu terpaksa saya mengiyakan, karena saya tahu, tak setuju pun tak akan mengubah rencanamu.” Lili masih saja marah.
“Oke, sekali lagi saya minta maaf. Sekarang bisa buatkan saya teh? Saya haus.” Lili melangkah ke dapur dengan enggan. Kin menarik napas berat. Belum berapa menit tiba, Kin sudah merasakan perbedaan atmosfir antara berada di sisi Sa dan di sisi Lili. Kin tidak bermaksud membandingkan, tapi pikiran itu terbersit begitu saja dengan perlakuan Lili. Padahal sungguh Kin ingin memperlakukan mereka sama. Kin tahu, hanya cinta pada Allah, Rasul-Nya dan orang tua yang mampu mengalahkan besar cinta Kin terhadap Sa, tetapi setidaknya, Kin sangat ingin berlaku manis dan memberikan kelembutan pada Lili. Namun itu hanya mampu Kin lakukan di bulan-bulan awal mereka menikah. Setelahnya, Kin seperti tak diberi kesempatan untuk melakukan tugasnya dengan baik. Tekanan dan tuntutan berentet setiap saat. Kepala Kin pening, tapi tak mampu melepaskan diri dari jerat yang dipasangnya sendiri.
Sepuluh menit kemudian Lili datang membawa secangkir teh. Asap mengepul dari cangkir kecil berwarna coklat itu. Kin meminumnya pelan. Aroma teh biasa saja. Untuk urusan dapur, Lili memang kalah jauh dari Sa. Entahlah, sampai hari ini, Kin masih bingung kenapa bisa tertarik menikahi Lili. Selain karena kulitnya yang lebih cerah dari Sa, tak ada lagi kelebihan yang dimiliki Lili. Namun semuanya sudah terlanjur. Sesal hanya akan memperpanjang sesak. Kin cukuplah berusaha menjalaninya sebaik mungkin. Apalagi Sa sudah tidak mempermasalahkannya lagi. Kin hanya berharap masih punya segudang kesabaran untuk menghadapi sikap Lili yang sering protes dan marah-marah tak jelas.
Kin menatap cangkir di tangannya. Tersisa setengah. Cangkir itu terlalu kecil untuk ukuran Kin yang baru saja menempuh perjalanan lumayan jauh. Bersama Sa, Kin mendapatkan perlakuan yang teramat istimewa; piring khusus dari keramik putih, cangkir teh besar, dan gelas air putih yang memuat satu liter air. Sa akan melarang siapapun untuk menyentuh benda-benda special itu.
Pada awalnya Kin protes. Ia merasa tak nyaman, ketika ada keluarga yang bertamu dan mereka makan bersama, lantas Kin menggunakan piring yang berbeda. Tapi Kin kemudian memakluminya ketika Ibu Sa menjelaskan bahwa itu sudah menjadi kebiasaan mereka. Atau bahkan bisa dikatakan itu adat orang Selayar, karena sebagian besar orang Selayar melakukannya.
Akhirnya tak sampai sepuluh menit Kin menuntaskan air teh di cangkir itu.
“Ini uang belanja minggu ini. Coba hitung jangan sampai kurang.” Kin menyerahkan uang satu juta rupiah kepada Lili, setelah meletakkan kembali cangkir di meja. Atas permintaan Lili, Kin setiap minggu memberikan nafkah uang sebanyak satu juta. Boleh lebih tapi tidak boleh kurang. Kurang lima ribu saja bisa menjadi bibit pertengkaran berkepanjangan. Sementara Sa setiap minggu diberi lima ratus ribu. Sa tidak protes walaupun jatah mereka tidak sama. Sa kasihan melihat Kin yang harus kerja keras untuk membiayai mereka.
“Di sini kan banyak yang gratis, Kak. Air, kelapa, sayur-sayuran, semuanya gratis, jadi lima ratus ribu sudah lebih dari cukup untuk seminggu. Kalau ada kelebihan uang, tabung saja. Kita tidak akan pernah tahu seberapa cerah atau suram masa depan itu. Maka tugas kita hanyalah mempersiapkannya sebaik mungkin.” Itu yang selalu dikatakan Sa padanya. Sa bahkan tak pernah mengecek sudah berapa uang tabungan Kin di bank.
“Saya percaya Kakak akan mempersiapkan masa depan kita sebaik mungkin,” jawabnya saat Kin bertanya.
“Cukup. Makasih ya, Sayang.” Teriakan Lili membuyarkan lamunan Kin. Kin tersenyum tipis menjawab ucapan terima kasih Lili. Kin ingin mengingatkan Lili agar tidak boros, tapi diurungkannya. Kin tak ingin lagi mendengar omelan panjang Lili. Ia sudah cukup senang dengan ucapan terima kasih itu.
***
Andai bukan karena Sa yang menahan, Kin sudah lama menceraikan Lili. Tapi Sa protes. Sa tidak ingin Kin mempermain-mainkan hukum Allah.
“Tapi saya tak sanggup lagi, Sa.”
“Harus berusaha. Ini keinginan Kakak sendiri, ‘kan? Kecuali jika ia sendiri yang meminta.” Kin tidak paham kenapa Sa melarangnya. Mestinya Sa gembira, ia akan menjadi satu-satunya di hati Kin.
“Ah, kalau masalah hati, saya percaya, saya masih satu-satunya,” jawab Sa sambil melempar senyum genit ke arah Kin. Kin tak pernah bisa berkutik meghadapi senyum itu.
Kin tak pernah tahu bahwa semua dilakukan Sa untuk kebaikan Kin. Sa tidak ingin Kin menjadi orang yang mempermain-mainkan lembaga pernikahan. Walaupun Kin dan Lili menikah siri, tapi di hadapan Allah, pernikahan mereka sah.
Di awal pernikahan kedua itu, Sa memang sempat meminta Kin untuk memilih. Itu karena saat itu Sa tak mampu menyeimbangkan antara hati dan pikirannya. Dan entah mengapa, Sa sangat yakin Kin dengan gampang akan memilihnya. Tapi ternyata salah. Kin justru meminta waktu tiga bulan untuk dapat menentukan pilihan. Saat itu hati Sa yang sejatinya memang sudah berkeping, mendadak merupa butiran-butiran debu. Sa tak menyangka cinta yang mereka bangun, rapuh dan tergoyahkan oleh kehadiran seorang Lili.
Ketika tiba waktu tiga bulan yang dijanjikan, Kin tak sanggup memilih. Nganga luka Sa semakin memerah. Dalam dan perih. Sa ingin mengambil jalan tengah, ia yang akan pergi. Namun pancaran mata permohonan Kin membuatnya luluh. Pada akhirnya hanya memasrahkan segalanya pada sang Maha Pengasih. Ia yakin dengan Rahman dan Rahim-Nya, pasti akan kuat.
Pun begitu, Sa tetap mengajukan syarat untuk membantunya bertahan, sekaligus untuk melindungi Kin dari cemoohan orang. Di kampung, poligami memang tidak dilarang, tapi masih merupakan sesuatu yang dianggap tabu. Siapapun yang berpoligami akan menjadi buah bibir dan akan tersisih dari pergaulan di masyarakat. Sa tak ingin hal itu menimpa Kin. Maka ia mengajukan syarat yang sekiranya dapat membuat Kin ‘aman’.
“Katakanlah, Sa. Apapun akan saya penuhi, asalkan kau tetap di sisiku,” pinta Kin. Sa menarik nafas panjang sebelum menjawab. Masih ada ragu di hati, apakah syarat itu mampu memperbaiki hatinya? Apakah jika Kin mampu memenuhi syarat itu, ia akan menemukan kembali bahagia yang kini raib entah ke mana?
“Ada empat syarat. Yang pertama sampai ketiga sepertinya egois sekali. Untuk itu saya mohon maaf.” Tiba-tiba saja kalimat Sa tersusun demikian formal. Tidak seperti sedang berbicara pada suaminya.
“Katakanlah!”
“Pertama, Kakak tak boleh menyatakan cinta padanya.” Sa menunduk. Mencoba menahan bulir bening yang tiba-tiba saja menyeruak. Nyeri saat mengucapkan kalimat itu. Terbayang sebelum menikahi perempuan itu, Kin pasti pernah menyatakan perasaannya.
Sepoi angin meliukkan daun ilalang di pekarangan. Sa melempar pandangan ke arahnya. Mencari ketenangan di balik liukan eksotis ilalang itu. Ah, desir daun yang bergesekan diterpa angin justru menambah sendu hatinya.
“Saya sanggup. Insya Allah. Yang kedua?” Melihat Sa tetap berdiam, Kin akhirnya bersuara.
“Yang kedua, tidak boleh menyimpan fotonya di dompet.” Lagi-lagi syarat yang konyol sebenarnya. Tapi semalaman Sa sudah memikirkannya, dan ia pikir tak ada salahnya mencoba. Semoga ini memang jalan yang mampu membuat rumah tangganya kokoh kembali.
“Insya Allah.”