Perempuan Ilalang

Mira Pasolong
Chapter #4

IV. JASMINE GINGER TEA

Subuh menghantar gigil. Untuk daerah pegunungan seperti Lembang Bau, selimut baru siap ditanggalkan paling cepat pukul 09:00. Tapi tidak dengan Sa. Ia suka menantang dingin subuh. Hanya dengan berbalut sweater, setelah sholat subuh, Sa sudah berjalan mengelilingi hamparan ilalang. Kabut menghampar menutupi seluruh atap rumah warga, hingga yang nampak hanya warna putih. Sebuah eksotisme alam yang selalu dikagumimya sejak kecil.

Sa ingat, waktu kecil sering diajak Dato ke kebun usai sholat subuh. Menerobos kepekatan kabut. Di sepanjang jalan, Sa berlarian dengan tangan yang seakan-akan bersiap menangkap kabut. Ia pernah berceloteh kenapa kabut tidak bisa ditangkap. Dato hanya tersenyum tanpa memberikan jawaban. Di kebun, Sa akan membantu Dato menyiram pohon cengkeh yang baru ditanam. Setelah itu, menemaninya memunguti buah kelapa yang jatuh dari pohon. Dato tidak bisa memanjat, sementara pohon kelapa dikebunnya ratusan. Tiga bulan sekali ada tiga orang yang diberi upah untuk memanjat.

Yang paling menyenangkan bagi Sa adalah jika ada orang dari kota. Entah itu keluarga dari Benteng, Makassar atau Jakarta. Biasanya mereka ingin melihat dan menikmati sesuatu yang khas di Lembang Bau. Maka Dato akan membawa mereka ke kebun kelapa, meminta salah seorang warga untuk mengambil kelapa muda. 

Dengan lincah Dato memecah kelapa muda tersebut diiringi tatap penasaran para tamu. Ya, mereka tidak sabar ingin segera mencicipi kuliner kelapa khas Selayar itu. Saronso, itu nama minuman khas dari kelapa muda. Di tempat lain secara umum namanya es kelapa muda. Tapi Dato tidak mau menyebutnya seperti itu.

“Ini bukan es. Coba mana esnya?” canda Dato. Memang tidak pakai es. Di Lembang Bau orang tidak butuh es. Tanpa diberi es pun, air sudah dingin seperti es. Di pagi hari, minyak goreng membeku seperti mentega. Tidak akan tumpah walaupun botolnya dibalik.

“Yang kedua, kalau es kelapa muda, saya liat gula merahnya dicairkan. Kalau saronso tidak. Gula merahnya diiris dan langsung dicampur dengan kelapa yang sudah diserut bersama airnya. Keunikan lainnya adalah kita makan langsung dari batok kelapa dengan sendok yang terbuat dari sabuk kelapa pula,” seloroh Dato bersemangat.

Dato memang selalu bersemangat jika menceritakan tentang kekhasan Lembang Bau. Baginya Lembang Bau unik dan eksotis. Pandanglah dari ketinggian bukit, tempat Sa kini membangun rumah. Mata kita akan kandas pada pemandangan laut nun jauh di Benteng sana. Hanya nampak warna biru yang bersambung dengan kaki langit.

Di bulan Ramadan, anak-anak akan bermain-main di atas bukit itu sambil menunggu waktu berbuka. Permainan yang paling seru adalah bermain seluncuran yang dalam bahasa selayar disebut doso’-dosolo. Seluncuran biasanya terbuat dari pelepah enau. Untuk memperlicin, maka diolesi dengan buah kemiri rusak. Kemiri rusak itu berwarna kehitam-hitaman dan menimbulkan bau yang kurang sedap. Tetapi bagi anak-anak, yang terpenting adalah minyak yang dikeluarkannya dapat membuat pelepah licin dan meluncur dengan cepat.

Dari puncak ketinggian, mereka kemudian berlomba sampai ke bawah. Jaraknya sekitar seratus lima puluh meter. Setelah itu, mereka akan berlarian mendaki sambil membawa seluncuran mereka. Lalu meluncur lagi. Uniknya permainan ini juga bermusim, yakni di bulan Ramadan. Mereka akan berlarian pulang ke rumah masing-masing setelah menyaksikan mentari yang tenggelam di ufuk barat. Cahaya jingganya memesona, tapi bagi mereka yang kanak ini, bukan itu yang menarik. Yang menarik adalah bahwa mereka akan segera berbuka puasa dan menyantap makanan lezat yang tersedia. Sayang sekali, permainan tradisional itu kini sudah hilang, tergerus segala piranti modern teknologi.

***

Sa menyilangkan kedua tangannya di dada. Dingin serasa menusuk tulang. Baru pukul 05.30. Lembang Bau masih tersaput kabut tebal. Dihirupnya udara segar dalam-dalam lalu dihembuskan pelan. Ada nyeri di dasar hati yang coba ia redam. Entah mengapa, sejak selesai tahajud semalam, perasaannya gelisah. Tak biasanya seperti itu.

Sa mencemaskan Kin. Sejak Kin pergi, Sa memang sengaja mematikan ponsel. Selalu begitu jika Kin sedang bersama Lili. Kin sebenarnya melarang, karena ia ingin sesekali menghubungi Sa, minimal untuk mengetahui kabarnya. Tapi Sa menolak.

“Biarlah ia menikmati seutuhnya menjadi isteri. Seperti saya yang selalu berusaha untuk menikmati kebersamaan kita selama ini.” Begitu selalu jawaban Sa. Padahal Kin tahu, ketenangan Sa saat bersamanya sering terganggu dengan telpon mendadak dari Lili untuk Kin ataupun SMS bernada sinis untuk Sa. 

Sa mondar mandir di halaman. Sesekali ia menarik nafas dari hidung, menikmati aroma cengkeh sambil menenangkan hatinya. Di luar pagar rumah adalah perkebunan cengkeh milik kakeknya. Karena Kin tidak tahu berkebun, maka ia mempercayakan pengelolaan kebun tersebut pada warga yang masih ada hubungan kerabat .

Lihat selengkapnya