Cengkeh sedang musim panen puncak di bulan Agustus ini. Di musim seperti ini, penghuni Lembang Bau meningkat. Banyak buruh petik cengkeh dari kampung lain. Biasanya kampung-kampung tandus yang sebagian besar warganya kerja serabutan. Di musim ini pula, akan banyak gadis-gadis Lembang Bau yang menikah dengan pendatang tersebut. Jika sudah menikah, maka buruh petik tersebut akan menetap di Lembang Bau.
Jumlah penduduk Lembang Bau meningkat drastis. Sudah ada hampir dua ratusan rumah, dengan kepala keluarga yang hampir tiga ratus. Kemajuan Lembang Bau terbilang sangat pesat sejak statusnya berubah menjadi pusat pemerintahan Desa. Hasil bumi yang luar biasa menjadikannya terkenal di seantero Selayar.
Bahkan emping melinjo, oleh-oleh khas Selayar, produsen utamanya adalah di Lembang Bau. Di desa inilah tumbuh paling banyak pohon melinjo, dan warga Lembang Bau pulalah yang pertama kali memperkenalkan cara pengolahannya. Sa tidak tahu siapa orang pertama yang memperkenalkan cara pengolahan melinjo menjadi emping. Yang Sa ingat, dulu ibunya selalu membuat emping. Sesekali Sa kecil membantu sambil bermain.
Sa kembali teringat masa kanak-kanaknya ketika Lembang Bau masihlah kampung kecil yang sunyi. Bangun subuh dan menembus kabut menuju sumur yang letaknya lebih dua kilo meter, di kaki bukit. Pulangnya harus mendaki sambil membawa ember berisi cucian ataupun air untuk memasak. Air sejuk pegunungan membuat kulit perempuan Lembang Bau sehat dan bersih.
Pagi ini Sa bermaksud ke kebun melihat-lihat buruh yang sedang memetik cengkeh. Bukan Sa tidak percaya pada mereka, tetapi ia ingin mengurai rindu pada masa lalunya. Masa saat Dato mengajaknya ke kebun, merawat cengkeh-cengkeh itu. Yang paling sering adalah ke kebun cengkeh yang sekarang bersebelahan dengan rumah tempat tinggal Sa. Itu memang kebun yang terdekat dari kampung. Sekarang malah sudah bersambung dengan kampung karena banyaknya rumah.
“Pake sepatu boat, Sa. Nanti tertusuk ilalang.” Kin datang membawa sepatu boat buat Sa. Sa mengambilnya dari tangan Kin dan langsung memakainya.
“Ini bukan karena takut tertusuk duri ilalang, ya. Tapi hanya karena menghargai kebaikan hati lelaki ganteng yang telah susah payah membawakan sepatuku,” canda Sa. Kin terkekeh. Duh, Sa selalu mampu menenangkan hatinya, sekalut apapun ia.
“Iya ya. Tidak mungkinlah Perempuan Ilalang tertusuk ilalang,” balas Kin. Gantian Sa yang tergelak. Di kebun cengkeh memang banyak tumbuh ilalang. Hanya tersisa akarnya karena sudah disiangi, tetapi tetap meninggalkan duri yang menusuk.
Kedatangan Kin dan Sa disambut hangat oleh lima orang buruh yang sedang asyik memetik cengkeh. Ali, yang merawat kebun itu berlari-lari mendekatinya. Kin dan Sa tersenyum.
“Sa katanya rindu sama Dato, jadi mau ke sini.” Kin membuka percakapan. Ali tersenyum, ia tahu betapa dekatnya Sa dengan kakeknya dulu.
“Yang memetik semua anak-anak kampung ini kan, Kak?” tanya Sa pada Ali. Ali masih terhitung saudara jauh Sa. Sa memang berpesan kepada semua penjaga kebunnya agar memberdayakan anak-anak muda di kampung saja. Daripada mereka mondar mandir, padahal tenaga mereka kuat.
Sejak hasil perkebunan melimpah, banyak anak-anak kampung yang kemudian bermalas-malasan dan hanya mengandalkan uang hasil panen cengkeh orang tuanya. Sa sengaja mendekati anak-anak muda itu dan mengajaknya secara pelan-pelan untuk mau bekerja.
“Itu harta orang tua. Bukan harta kalian. Coba pikir. Kebun orangtuamu hanya satu atau dua hektar. Jumlah saudara ada enam. Lantas akan berapa banyak nanti hasil dari kebun bagian kalian? Belum lagi kalau cengkeh itu sudah tua dan perlu diremajakan. Bisakah kalian mengolahnya sebaik orangtua kalian?” tanya Sa lembut. Beberapa pemuda merasa tercerahkan dan memutuskan untuk membantu orang tua mereka. Bagi yang orang tuanya tidak memiliki banyak pohon cengkeh, kemudian menjadi buruh petik di kebun orang lain. Mereka inilah yang kemudian memetik cengkeh di kebun Sa.
“Iya Dek Sa. Seperti pesanmu,” jawab Ali.
“Mereka lincah dan kelihatan kuat,” kata Kin sambil memperhatikan anak-anak muda yang sedang asyik bertengger di atas tangga yang menjulang setinggi pohon cengkeh. Memetik cengkeh dengan ketinggian yang sudah mencapai lebih sepuluh meter, mengandung risiko yang juga tinggi. Mereka menggunakan tangga dari bambu dengan tanpa pengaman. Untungnya selama ini belum pernah ada kejadian mengenaskan, walaupun setiap tahun pasti ada yang terjatuh dan mengalami patah tulang.
“Sa, kita pulang yuk. Sudah jam Sembilan,” ajak Kin. Sa menurut. Sebelum pulang Sa mendekati sebatang pohon cengkeh, memetik beberapa kelopak bunga yang menjuntai ke tanah dan mengangsurkan ke hidungnya.
“Ini pohon cengkehku, kata Dato. Ia menamainya sama dengan namaku. Sa,” jelas Sa. Kin tersenyum mendengarnya. Betapa kalimat Sa mengandung aroma kerinduan yang kental. Rindu pada sang kakek.
***
Sa menyiapkan makan siang. Kin sejak tadi sibuk mengurusi petani yang datang menjual hasil taninya. Kalau musim cengkeh seperti ini, mobil Kin selalu penuh. Kadang ada lima belas karung cengkeh yang dimuat. Belum lagi hasil bumi yang lain.