“Kapan ya bisa ketemu Sa?” Pagi-pagi, saat menyapu, notifikasi FB di ponsel Sa berbunyi. Kalau biasanya ia mendiamkannya sampai pekerjaannya beres, kali ini ia langsung beranjak mengambil ponselnya. Sa juga tak mengerti energi apa yang menggerakkannya. Inboks dari Rala lagi. Dan lagi-lagi Sa membalasnya.
“entahlah. Berjauhan jarak begini.”
‘Tapi tetap di atap yang sama, kan? Langit.”
“hehehehe.” Dan pagi itupun sambil menyiapkan sarapan untuk Kin yang sebentar lagi tiba dari Benteng, Sa ditemani inboks-inboks dari Rala. Sa senang dan terhibur.
Sa memeriksa persediaan bahan makanan. Ada ubi kayu. Masih ada juga sedikit gula merah di kaleng. Sa memutuskan untuk membuat kue dari ubi kayu. Kue tara’jong) namanya. Dengan lincah tangan Sa mulai mengupas ubi, membersihkan dan merebusnya. Sementara menunggu ubi matang, Sa mengiris-iris gula aren.
“sedang apa?” Sebuah inboks. Lagi-lagi dari Rala. Kali ini Sa tidak bermaksud membalasnya. Ubi sudah matang dan jarum jam hampir menyentuh angka delapan. Sarapan sudah harus siap sebelum Kin tiba. Sa segera meniriskan ubi dan menghancurkannya. Setelah itu dicampur dengan gula merah, diuleni hingga rata, dan dibentuk bulat pipih kecil. Sebelum digoreng terlebih dahulu dicelupkan pada tepung yang sudah dicampur air dan sedikit garam. Tak sampai lima belas menit kue tara’jong sudah siap di meja makan.
Kabut di luar rumah sudah semakin menipis. Sepoi angin masih asyik meliukkan daun ilalang. Sesekali terdengar gesekan halus jika angin agak kencang. Di kebun samping rumah, sudah mulai kedengaran suara buruh petik cengkeh, bercengkerama riang. Sa banyak mengambil pelajaran hidup dari orang kecil seperti mereka. Ketabahan dan kesyukuran mereka terkadang jauh melampaui ketabahan dan kesyukuran orang-orang yang lebih beruntung secara materi.