Piiipppppppppppp. Bunyi klakson mobil yang panjang dan memekakkan telinga menyentakkannya dari lamunan. Kin kini sudah berada di depan pagar. Sa bergegas membuka pintu pagar, membiarkan Kin memasukkan mobilnya. Pukul 09:15.
‘Maaf terlambat, Sa. Ini si Zebra tadi mogok di Puncak,” kata Kin segera, sebelum Sa sempat membuka mulut. Sa menghambur ke pelukan Kin. Tak peduli mereka sedang berada di luar rumah.
“Ada apa, Sa? Yuk, masuk. Kita bicara di dalam.” Kin membimbing Sa masuk.
Sa menuju meja makan. Kue tara’jong yang dibikinnya sudah dingin. Dengan sigap ia menyediakan teh. Kali ini pilihannya mixed fruit tea, mumpung cuaca cerah.
“Ada apa, Sa?” Kin mengulang pertanyaannya sambil mengunyah tara’jong.
“Tidak apa-apa. Kakak baik-baik saja, ‘kan?” Sa memandang suaminya. Ia tersenyum melihat Kin mengangguk. Tak nampak lagi cemas di raut wajahnya yang bersih. Perlahan cerah membayang, mencipta siluit kemerah-merahan di kedua pipinya. Kin memandangnya, antara tak percaya dan keheranan. Tadi Sa nampak seperti sedang menanggung beban.
“Tadi kenapa langsung memeluk?” tanya Kin pelan.
“Memang tidak boleh, ya?” Sa balik bertanya, masih dengan sesungging senyum di bibirnya. Kin gemas sendiri melihatnya.
“Semalam baik-baik saja, ‘kan? Duh, maaf, ternyata charger ketinggalan.”
“Ya, mau baik bagaimana. Capek menunggu chat. Lebih capek lagi berprasangka.” Sa menarik nafas berat.
“Maksudnya?” Kin tak mengerti.
Sa tersenyum kecil lalu sekilas menceritakan betapa semalam hatinya gulana, menyangka Kin tidak berkirim kabar karena mengabaikannya. Ia menyangka kebersamaan Kin dan Lili telah membuatnya tersingkir dari kedalaman hati Kin. Duh, mungkin rinai-rinai dalam hati yang semalam dirasanya itu adalah cemburu.
Jika memang itu cemburu, betapa menyiksanya ternyata. Dan Sa tak ingin merasakannya lagi. Sa ingin selalu percaya, bahwa di manapun mereka, seberapa jauhpun jarak mengantarai, sejatinya mereka tetap bersama.