Perempuan Ilalang

Mira Pasolong
Chapter #9

Bab 9. Rasa yang Masih Sama

Sa tertidur lebih cepat dari biasanya. Mungkin kelelahan. Kin masih di depan komputer. Beberapa hari yang lalu temannya di Makassar menelpon. Ada proyek desain sebuah kampus. Sudah hampir dua jam di depan komputer, ia sama sekali belum menemukan ide. Kin menghela nafas berat. Terngiang kembali pertengkarannya dengan Lili beberapa waktu lalu. Pertengkaran yang menyebabkan Kin terlambat sampai di Lembang Bau dan terpaksa harus membohongi Sa. Ban bocor adalah alasan yang sengaja dikarang oleh Kin. Kin beristighfar. Berharap semoga yang dilakukannya termasuk dalam kategori ‘berbohong untuk kebaikan’. 

“Saya tidak mau tau. Pokoknya saya harus ikut ke Makassar di pernikahan adikmu nanti,” teriak Lili. Kin tetap menggeleng, bersikukuh tidak akan membawa Lili ke Makassar. 

“Saya tahu jalanan. Tanpa ikut denganmu pun saya akan tiba di rumah orangtuamu. Di sana, saya akan memperkenalkan diri.” Kalimat Lili bernada ancaman. Kin naik pitam. Hampir saja tangannya mendarat di pipi Lili. Untung sekilas bayangan Sa yang sedang tersenyum manis nampak di matanya. Kin segera menurunkan tangannya dan terduduk lemas di kursi. Semakin lemas saat menyadari, jarum pendek jam dinding di ruang keluarga itu sudah menunjuk angka delapan. Kin tahu, Sa pasti sudah gelisah menunggunya. Sementara Lili masih saja tidak bisa diam.

“Sekarang terserah apa yang kau mau lakukan. Saya mau pulang sekarang.” Kin beranjak meninggalkan Lili. Lili mengejarnya hingga ke mobil, tapi Kin tak peduli. 

Malam ini, gelisah kembali mempermainkan hatinya. Ia takut Lili membuktikan ucapannya. Ia tak ingin kehilangan Sa, sampai kapanpun. Di dunia ini, hartanya yang paling berharga adalah Sa. Tentu saja tanpa mengabaikan ibunya, sebagai orang yang harus dipatuhinya sepanjang hayat.  

Kin mematikan komputer. Ia memilih untuk menyendiri di teras. Mencoba cara perempuan ilalangnya meredam pilu. Siapa tahu, seperti Sa, saat bercengkerama dengan ilalang, pilu itu menguap entah ke mana. Begitulah yang selalu dikatakan Sa. Ilalang mampu mengusir pilu dan mampu membantunya mengukir lengkung senyum di sudut bibir. Ah, Sa, perempuan ilalang yang unik, cantik dan cerdas. Dan yang selalu membuat Kin terkagum-kagum adalah kesabaran serta ketegarannya di balik fisiknya yang lemah. 

“Sa, selamanya kaulah cintaku,” Kin mendesah sendiri. Liukan daun ilalang seakan menyambut bahagia kalimat yang diucapkannya. Pandangan mata Kin kini mengarah ke rumpun ilalang itu. Semilir angin, nyanyian jangkrik dan temaram cahaya bulan, membuat malam itu sungguh menakjubkan. Lelaki atletis itu menarik nafas panjang, lalu menghempaskannya keluar. Hatinya sedikit lega. Sa benar. Ilalang dan bulan adalah teman yang paling romantis. Bukan hanya itu, bahkan seluruh yang menghiasi malam adalah gambaran keromantisan. Kin menyukai kesyahduannya. 

Kin yakin Sa tahu bahwa ia sedang menyembunyikan sesuatu. Kin juga yakin isterinya itu sangat ingin mengetahuinya dan ikut lebur dalam masalah apapun yang dihadapi. Namun sungguh, Kin tak ingin lagi membasahi luka di hati perempuan anggun tersebut. Kin takut, jika isterinya tahu masalah yang sedang dihadapinya, ia akan kembali terluka. Namun kalau tidak diberitahu, bagaimana Kin akan bersikap? Lelaki bermata elang itu melangkah ke dalam rumah. Pukul 03:00 dini hari. Ia segera berwudu dan mengadukan segala gundahnya pada Allah.

“Ya Allah, ampunilah khilaf hamba. Hamba tahu, ini semua salah hamba. Ini semua karena iman hamba yang lemah. Dan jika menyembunyikan Lili dari keluargaku dan keluarga Sa adalah sebuah kesalahan, maka ampunilah hamba dan berikanlah kesabaran dan keichlasan tak bertepi pada Sa, agar dapat menerima Lili utuh. Tapi jika dengan rahasia ini, manfaatnya lebih banyak, maka berikanlah cahaya hidayah-Mu pada Lili, agar dapat ichlas. Pun berikanlah hamba kekuatan dan kesabaran menjalani takdir ini, ya Allah. Aamiin.” 

Kin menangis di sujud terakhirnya. Sa yang mendengar suara sesenggukan terjaga. Ia terlonjak turun dari tempat tidur melihat suaminya yang sujud sambil menangis. Sejenak ia memperhatikannya, tak bermaksud mengganggu. Sa yakin, Kin akan baik-baik saja setelah mencurahkan segala gulana kepada Allah. Itu jugalah yang Sa lakukan jika lukanya kembali memerah darah.

“Sa, sudah bangun?” Kin kaget melihat Sa duduk di sampingnya. Memperhatikannya dengan seksama. 

“Sejak tadi? Kenapa tidak sholat?” Kin memandang Sa, tapi sekilas kemudian membuang pandangannya ke samping. Ia tak ingin perempuan tercintanya melihatnya menangis.

Lihat selengkapnya