Sa menutup bukunya. Ada kalimat di buku itu yang menarik hati. Sebuah kutipan pendapat dari seorang novelis Brazil, Paulo Coelho. Menurutnya air mata adalah kata-kata yang menunggu untuk ditulis. Sa bangkit dari tempat duduknya. Saatnya sekarang kembali menulis, sambil menunggu Kin menyelesaikan pekerjaannya. Banyak air mata di jiwa Sa sekarang, dan akan menjadi sebuah tulisan yang indah jika mampu meramunya dengan baik. Tulisan yang ditulis dengan hati, insya Allah akan sampai pada hati pula.
“Benar kan, Sa?” Rala. Mungkin masih penasaran karena Sa tidak lagi membalas inboksnya.
“Bisa ya, bisa tidak. Tergantung.”
“Dan ya bagi Sa. Come on, Sa. Saya bisa diandalkan kog. Bahuku cukup bidang tuk disandari. Hatikupun cukup lapang.”
“Apa deh?” Sa agak terpengaruh. Namun baginya, aib keluarga bukan untuk diumbar. Maka ia harus mampu menutupi masalah apapun antara dirinya dan Kin. Sa segera mengambil laptop dan kembali ke teras. Sebelum menyalakan laptop, perempuan berhijab itu memeriksa ponselnya. Ah, mungkin sebaiknya status itu dihapus saja.
Sa membuka facebook di ponsel, lalu membuka kronologinya. Scroll satu kali, nampaklah status Sa yang terakhir. A shoulder to cry on. Status pendek, yang diinterprestasikan oleh Rala sedemikian tepat. Sa segera menghapusnya.
“Sungguh, Sa. Saya siap menjadi apapun yang kau mau, teman, sahabat, saudara, atau bahkan…” Inboks tak lengkap dari Rala. Sa hanya tersenyum membacanya. Tak bermaksud untuk membalas. Luka di hatinya memerah lagi kini, dan ia tidak ingin menabur harap pada sesiapapun. Ia tak ingin tercipta luka baru.
Pukul 09:00. Kin sudah menyelesaikan pekerjaannya. Ia mendekati Sa yang kini telah asyik mengetik. Kin duduk di samping isterinya tersebut, menyeruput teh yang sudah dingin. Marah dalam diam sungguh tidak nyaman. Sa mengutak atik ponselnya, antara salah tingkah dan menghindari percakapan.