Malam ringkih ditingkahi rintik. Gemintang berselimut awan. Sembunyi dari sepasang mata yang mengharap kerlipnya. Bulan bulat setengah pun tak nampak. Malam yang mendung. Semendung hati Sa. Sejak tadi bergelut dengan laptop, tetapi belum sepatah kata pun yang ditulis. Ia mencoba membuka internet. Karingan modemnya payah. Mungkin karena cuaca. Entahlah.
Mata Sa memanas. Ada bah yang hendak tumpah meruah. Duh, hatinya seperti tercacah pisau tajam. Nyeri sekali. Bongkahan luka itu kembali menganga, menepis ketegaran yang selalu coba dibangun Sa. Kin sudah dua malam di Benteng tanpa memberitahu sebelumnya. Sejak pagi Sa menunggu kedatangan Kin, tapi SMS pendeknya baru masuk sore hari, kala Sa sudah hampir tak kuasa menahan aneka rasa di hati; gelisah, cemas,marah, cemburu dan juga rindu.
“Maaf, Sa. Sy msh bermlm. Nti sy jelaskn.” SMS Kin yang masuk ke ponselnya saat baru saja selesai sholat Ashar. Perempuan penyabar itu menghela nafas panjang. Ia tak membalas SMS itu. Sa sibuk menata hatinya yang tiba-tiba saja demikian rapuh. Ia rapuh, sangat rapuh untuk saat ini. Rupanya gelar sebagai perempuan ilalang tak cukup untuk menguatkannya. Namun Sa sadar, serapuh apapun ia, seringkih apapun jemarinya, Sa tidak butuh jemari orang lain untuk menolongnya. Ya, Sa sendirilah yang dapat membuat dirinya tegar. Ia harus bangkit.
Hingga malam menjelang, ketika rinai tak jua usai, Sa masih harus berperang dengan hatinya yang tak kunjung bisa berdamai. Antara kerinduan dan kemarahan. Dua hal yang menjadi siksa batin sepanjang malam.
Semilir angin menghantar dingin hingga ke tulang. Rinai hujan menggoreskan rindu yang perih di hati. Sementara liukan ilalang tak cukup membantu. Sungguh, malam ini Sa ingin menangis sepuasnya, pun berteriak sekencang-kencangnya. Beban itu terasa berat sekarang, kala merasa sendirian. Mungkin tidak akan seperih ini, jika saja Kin berterus terang akan keterlambatannya pulang. Sa pasti akan memahami keputusan tersebut. Namun kalau dibuat penasaran seperti ini?
Air mata itu kini tumpah sudah. Tak terbendung. Bongkahan amarah dan rindu di hati terlampiaskan lewat air bening yang membanjiri pipinya. Sa selalu yakin bahwa di balik air mata seorang perempuan, ada kekuatan yang kadang tak disangka-sangka. Semoga saja itu benar, dan setelah menangis, ia bisa tenang.
”Masih butuh bahu tuk bersandar?” Inboks dari Rala. Sa tersentak. Spontan menghapus air matanya, seakan Rala dapat melihatnya. Entah sudah berapa hari Rala tak ada dalam pikirannya. Pun Rala tak pernah lagi me-like statusnya akhir-akhir ini. Dan malam ini, saat Sa berada pada puncak galaunya, Rala mengirim inboks. Lelaki itu selalu tahu kapan Sa butuh teman berbagi cerita.
Sa menatap layar ponselnya sekali lagi. Membaca ulang inboks dari Rala. Lalu menimbang-nimbang apakah dibalas atau tidak.
“Cukup jaga hati yang tertitip padamu.” Itu kata Kin saat Sa tanya kenapa tak mempermasalahkan hubungannya dengan Rala. Mengingat itu, Sa kemudian memutuskan untuk membalas inboks tersebut. Toh selama ini Rala juga cukup sopan. Walaupun terkadang kalimatnya terdengar seperti rayuan, tapi Sa tahu itu hanyalah cara Rala mencandai sepi. Mengingat itu, tiba-tiba Sa ingin mencarikan seseorang yag tepat buat Rala.
“Hehhe.. thanks, tp Simpan sj bahumu for someone U love. Segeralah mencari.”
“Pun sdh ada yg menyandarix, msh akan ttp tersedia utkmu, Sa. Suer.” Rala membalas dengan cepat. Sa tersenyum-senyum membacanya. Sa membatin, jika Kin membacanya apakah tetap ia tidak akan cemburu?
“Ingat perjanjian awal kita, ya. Tdk boleh inboks macam2.” Balas Sa. Ia ingin meredam kalimat-kalimat Rala. Ia takut tanpa sadar terbawa arus dengan kalimat romantis yang dikirim Rala untuknya.
“tidak macam2 kog. Hx sampaikn isi hati.”
“Awas lho klu Kak Kin cemburu.”